Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi
Perkenalkan sahabat saya, namanya John Wen (JW). Ia lahir dan tinggal di Medan. Usianya separuh usia saya. Ia lahir ketika saya lulus Master of Science di bidang keuangan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih 300, Bursa Efek masih bernama Jakarta, dan beli saham masih dapat warkatnya.
Walau masih muda, JW punya prestasi mengagumkan sebagai investor saham. Mulai berinvestasi saham sejak 2012, modalnya telah tumbuh sekitar 60% per tahun! Ia juga aktif di berbagai komunitas investor saham via sosmed. Pengetahuannya tentang investasi saham dan perusahaan di bursa sangat luas. Ia bergaul dengan investor saham senior, seperti Lo Kheng Hong dan Sukarto Bujung.
Melihat kemampuan analisis dan pengetahuannya tentang saham, orang tidak akan menyangka JW drop out dari sebuah PTS unggulan jurusan arsitektur di Bandung.Ternyata tidak sesuai dengan yang saya bayangkan. Saya salah jurusan, tutur dia.
Ia memilih berhenti kuliah dan pulang ke Medan pada akhir 2011. JW lalu merintis berbagai macam bisnis. Pernah rugi banyak karena ditipu teman bisnis, akhirnya JW memilih membantu bisnis keluarganya, sebuah toko koper. Ayahnya meninggal ketika ia baru berusia 12 tahun. Ibunya membesarkan dia dan adiknya dengan melanjutkan bisnis koper ayahnya.
JW mulai tertarik saham saat berusia 20 tahun. Ia mengenal saham dari Ibunya, seorang trader saham. Berbeda dari ibunya, JW tidak ingin menjadi trader, tapi investor saham. Saya perhatikan Ibu saya trading saham malah lebih sering cut loss, kisah dia. Ia mencermati, semakin sering trading justru semakin tidak efisien. Ia juga mengamati perusahaan besar memiliki pertumbuhan yang solid secara jangka panjang.
JW belajar investasi saham secara otodidak. Ia banyak membaca buku tentang Warren Buffett. Buku pertama yang ia baca dan paling terekam di benaknya, adalah How Buffett Does It karya James Pardoe. Sampai sekarang dalam situasi tertekan, saya masih membaca ulang buku ini, ujar JW.
Ia juga melalap berbagai buku investasi, akuntansi dan keuangan. Kebiasaan menganalisis laporan keuangan perusahaan membuat JW fasih cara membaca kondisi keuangan dan nilai perusahaan.
Di tahun awal menjadi investor, JW hanya berani mengoleksi saham-saham unggulan, terutama di sektor perbankan. Portofolio saya hampir semuanya saham bank, kata JW. Ia pernah membeli BBRI dan untung 30%. Prinsipnya sederhana, buy low a good company, then sell high.
Ia pernah belajar analisa teknikal dari perusahaan sekuritas di Medan, namun tidak tertarik menerapkan. Saya diajari untuk beli saham saat harga naik. Ini kurang logis. tegas dia.
Video presentasi Lo Kheng Hong di Youtube yang ia tonton 2014 menyakinkan dia menjadi value investor. Saya jadi lebih yakin membeli saham-saham non unggulan yang salah harga bisa memberikan keuntungan besar, lata dia.
Ia memberanikan diri membeli saham TPIA di kisaran harga Rp 4.000 dan menjualnya setahun kemudian di harga Rp 20.000. Saya mencari saham dengan PER dan PBV rendah, serta pertumbuhan penjualan dan laba bersihnya cukup bagus, jelas JW.
Sukses dengan saham TPIA, JW berinvestasi pada Indika Energy (INDY) di 2016. Namun kali ini ia kena batunya. Saham yang ia beli di harga Rp 500 ternyata melorot ke Rp 100. Namun ia bertahan mati-matian untuk tidak cut loss dan berharap harga batubara membaik. Tahun 2017, harapannya terwujud.
Berikut adalah tips memilih saham pemenang dari JW.
Pertama, produk. Cari perusahaan yang produknya mudah dimengerti dan tidak butuh banyak modal (capex). Contoh: pakan ternak (low capex high return) vs jasa penerbangan (high capex low return).
Kedua, kompetisi. Cari perusahaan yang mampu mencetak return on equity tinggi serta utang rendah. Biasanya perusahaan seperti ini juga memiliki profit margin yang lebih tinggi dibanding kompetitor.
Ketiga, manajemen. Cari perusahaan yang memiliki GCG baik, tidak menyalahgunakan uang perusahaan dan dijalankan oleh orang-orang yang punya kapasitas.
Keempat, valuasi. Cari perusahaan yang memiliki p/e ratio di bawah 5 kali dan pbv di bawah 0,8 kali, serta net asset value (nav) yang di atas nilai pasar ekuitas.♦
Lukas Setia Atmaja
Financial Expert Prasetya Mulya Business School.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News