kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
KOLOM /

Jangan ragu berbagi


Senin, 15 April 2019 / 15:47 WIB
Jangan ragu berbagi


Reporter: Tabloid Kontan | Editor: Mesti Sinaga

KONTAN.CO.ID -  Saya pernah menghadiri acara sharing yang diberikan oleh salah satu orang kaya di Indonesia. Orang kaya tersebut berbicara tentang kiprah bisnis, juga perjalanan keluarganya.

Saat tiba sesi tanya-jawab, ada peserta yang bertanya tentang sikap dan cara sang orang kaya tersebut menyiapkan masa depan anak-anaknya.

Jawabannya sungguh di luar dugaan: sama sekali tak ada urusannya dengan perkara bisnis maupun organisasi. Katanya, “Anak-anak saya sudah terlahir menjadi orang kaya, jadi tugas utama saya adalah menyiapkan mereka menjadi orang baik!”.

Jawabannya begitu lugas, tanpa terkesan sekadar basa-basi. Lebih lanjut, ia pun bertutur, “Kalau seseorang menjadi orang hebat, kehebatannya hanya bisa dinikmati oleh dirinya sendiri. Sama halnya pula, kalau seseorang menjadi orang pintar, kepintarannya pun hanya dapat dibanggakan oleh dirinya sendiri. Namun, ketika seseorang menjadi orang baik, maka kebaikannya dapat dirasakan oleh orang-orang di sekitarnya”.

Kehebatan dan kepintaran hanya mendatangkan kemaslahatan bagi diri sendiri, sementara kebaikan akan menjadi berkat bagi banyak orang.

Mendengar sharing di atas, saya teringat satu peristiwa sederhana beberapa tahun lalu. Saya pernah mendapat kesempatan berdiskusi dengan seorang sahabat dekat William Soeryadjaja, pendiri konglomerasi Astra International. 

Lagi-lagi, yang menarik perhatian saya dalam diskusi tersebut bukanlah tentang kepiawaian William dalam berbisnis dan membangun perusahaan sekelas Astra. Justru, perilaku keseharian beliau yang mendatangkan pencerahan kehidupan yang luar biasa.

Di antara begitu banyak karakter dan perangai William, salah satu yang paling menonjol adalah sifatnya yang baik dan murah hati.

Di manapun berada, beliau sangat antusias untuk berbagi, entah itu membagikan uang, makanan ataupun oleh-oleh lainnya. Singkatnya, beliau ingin membagikan kegembiraan kepada sebanyak mungkin orang yang dijumpainya.

Tak heran, Teddy Rachmat, keponakan beliau yang juga pemilik Triputra Group, pernah berujar, “Om William adalah sosok yang karismatis, yang kehadirannya mendatangkan aura positif dan kesukacitaan bagi orang-orang di sekitarnya”.

Karena kebaikan dan kemurahan hatinya, banyak pihak berbondong-bondong mengajukan proposal permohonan bantuan kepada William.

Ada proposal yang memang benar-benar faktual, namun tak jarang pula terselip proposal bodong, yakni proposal tipuan yang ingin memanfaatkan kebaikan William.  

Soal Mentalitas

Terhadap proposal bodong seperti itu, William juga kerap mengulurkan tangan untuk memberikan santunan. Apakah beliau bodoh dan naif? “Sama sekali tidak!” kata sahabat di atas.

Tak perlu dipungkiri, William adalah sosok yang cerdas. Saat diprotes oleh sang teman karena mengabulkan proposal bodong – dan itu berarti dirinya sedang dimanipulasi -, William hanya menjawab ringkas dalam bahasa Belanda, yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berarti: Let ‘em have a good day.

Kebaikan hati William begitu melimpah, bahkan hingga dia merelakan dirinya seolah tertipu sekalipun.

Para pakar psikologi menyebut mentalitas kebaikan dan kemurahan hati yang besar itu sebagai abundance mentality alias mentalitas kelimpahruahan.

Orang dengan mentalitas seperti itu tak pernah merasa kekurangan, dan oleh karenanya tak ragu untuk berbagi kepada orang-orang di sekitar.

Ini berbeda dengan kebanyakan orang yang cenderung memiliki scarcity mentality alias mentalitas kelangkaan. Mentalitas kelangkaan melihat hidup sebagai zero sum game, yakni penjumlahan nihil dari dua hal yang saling bertentangan.

Jika mau mendapatkan lebih, harus ada pihak yang dikurangi. Sama halnya, jika ada mau bergembira, harus ada yang dibikin susah.

Tak heran orang yang memiliki mentalitas kelangkaan akan sulit untuk berbagi. Dengan berbagi, mereka merasa ada bagian miliknya yang terkurangi.

Baru-baru ini, saya mendapatkan kiriman video nasihat Eddie Jaku, seorang yang lolos dari kekejaman Holocaust Nazi, dan saat ini berumur 98 tahun.

Beliau membagikan rahasia umur panjang dan hidup bahagia, yang mencakup tiga hal berikut. Pertama, jangan pernah memendam rasa benci.

Rasa benci adalah “penyakit”, yang tak hanya akan menghancurkan musuh-musuh kita, namun juga akan merusak diri sendiri.

Kedua, bangun pernikahan dan persahabatan yang baik. Dan, ketiga, tak perlu ragu untuk berbagi! Saat berumur delapan tahun, Eddie dinasihati ayahnya bahwa there is more pleasure in giving than taking, lebih banyak kegembiraan saat kita memberi daripada menerima.

Semasa kecil, Eddie menganggap itu adalah nasihat yang tak masuk akal. Namun, seiring dengan perjalanan hidupnya, setelah memiliki anak, cucu dan juga cicit, akhirnya ia mengakui kebenaran nasihat sang ayah.

“Apa yang kita berikan, akan kita dapatkan kembali. Jika kita tak memberikan apa-apa, pun kelak kita dan keturunan kita tak mendapatkan kembali apa-apa”.

So, tak perlu ragu untuk berbaik hati dan berbagi.                                                                ◆

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×