kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
KOLOM /

Jangan salahkan statistik


Senin, 22 April 2019 / 10:05 WIB
Jangan salahkan statistik


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Apa bedanya statistika dengan matematika? Apa contoh aplikasi statistika dalam kehidupan? Saya akan mulai dengan matematika. Matematika, yang berasal dari kata Yunani mathema, adalah ilmu tentang angka, jumlah, ruang dan pola.

Bersama bahasa, matematika adalah ilmu dasar yang wajib dipelajari mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Logika bahasa dan logika kuantitatif dipercaya akan menentukan keberhasilan seseorang dalam dunia akademik.

Matematika identik dengan tes masuk untuk berbagai institusi pendidikan. Saat anak saya ingin pindah dan masuk kelas 4 sebuah sekolah internasional, dari sebuah sekolah swasta biasa, dia mesti melalui tes matematika dan bahasa Inggris. Ketika akhirnya dia diterima dan duduk di kelas 4 sampai kelas 6, syarat naik kelasnya adalah lulus dalam dua pelajaran itu.

Hingga kelas 12, hanya pelajaran matematika dan bahasa Inggris yang wajib. Sementara 4 hingga 6 mata pelajaran lainnya pilihan. Mau kuliah S1 atau melanjutkan ke S2 dan S3, tes matematika (TPA) dan bahasa Inggris (TOEFL/IELTS) juga selalu ada.

Intinya, untuk berhasil dalam dunia akademik, siapa pun perlu menguasai matematika. Tapi, dengan berkembangnya konsep multiple intelligence, para ahli kini sepakat matematika dan bahasa hanya dua dari sembilan intelegensi. Masih ada tujuh intelegensi lain.

Sementara statistika adalah ilmu tentang mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data. Datanya sering dinamai statistik. Awalnya ilmu ini dipandang sebagai bagian dari matematika, sejajar dengan aritmetika atau berhitung yang dipelajari sejak SD kelas 1.

Ada dua sisi ilmu statistika. Satu, statistika deskriptif yang digunakan untuk menggambarkan populasi dengan istilah-istilah seperti mean (aritmetik, geometrik, dan harmonik), median, modus, standar deviasi, varians, range, kemencengan dan kelancipan data.

Dua, statistika inferensi, yang berhubungan dengan pengujian hipotesis dan pendugaan. Mempertimbangkan ini, statistika terlalu besar dan tak pas lagi disebut cabang dari matematika. Apalagi memang ada perbedaan mendasar antara statistika dan matematika.

Stokastik-Deterministik

Matematika dibangun dengan model-model deterministik atau persamaan yang pasti, sehingga sebelum dekade 80-an, matematika disebut juga ilmu pasti. Fakultas matematika dan IPA dinamai fakultas ilmu pasti dan ilmu alam.

Sementara, statistika menggunakan model stokastik atau persamaan tak pasti dengan mengikutsertakan randomness atau error dengan notasi e. Dalam persamaan matematika, tidak ada variabel e.

Contoh sederhana variabel deterministik dan stokastik adalah waktu keberangkatan dan waktu kedatangan di kota tujuan saat bepergian dengan pesawat terbang. Jam berangkat adalah deterministik atau pasti, sesuai dengan yang tercetak di tiket.

Sedang jam tiba adalah fungsi stokastik yang mengandung faktor error alias tidak pasti. Error ini bisa karena faktor cuaca, kepadatan bandara, arah angin dan lainnya. Karena itu, kita mesti membaca waktu kedatangan sebagai mean atau perkiraan rata-rata yang terdistribusi normal dengan standar deviasi tertentu. Artinya ada probabilitas 50% kita tiba lebih lambat dan 50% lebih cepat dari jadwal yang tertulis. Paling tidak itulah pengalaman saya dalam bepergian dengan pesawat terbang di dalam dan di luar negeri.

Pengujian hipotesis

Contoh lain, kita memerlukan statistika inferensi untuk pengujian hipotesis. Misalkan sebuah PTS A mengklaim gaji lulusannya lebih tinggi daripada lulusan PTS B. Untuk menguji hipotesis itu, kita perlu mengambil masing-masing sampel dan menghitung rata-rata gaji dari sampel itu.

Katakan kita meraih Rp 8,3 juta dari PTS A dan Rp 8 juta dari PTS B. Secara matematika, jelas dan pasti Rp 8,3 juta lebih besar dari Rp 8 juta. Akan tetapi, secara statistika, kedua angka itu baru rata-rata sampel dan belum tentu mencerminkan rata-rata populasi.

Menurut statistika, perbedaan Rp 300.000 perlu diuji. Untuk tujuan itu, kita harus menentukan signifikansi dan menghitung standar deviasi dari setiap sampel. Hanya setelah diuji, kita dapat mengatakan perbedaan Rp 300.000 itu signifikan (gaji lulusan PTS A terbukti lebih tinggi) atau tidak (gaji lulusan PTS A dan B dianggap sama).

Pendugaan

Aplikasi statistika yang paling menarik adalah quick count atau penggunaan sampel (2.000 TPS) untuk menduga populasi (813.350 TPS) dalam pemilu minggu lalu. Apakah hasil hitung cepat survei independen kredibel yang semuanya memenangkan paslon 01 dengan persentase 53,9%–55,7% dapat dipercaya?

Secara statistika, selama mereka dapat memastikan sampel sudah random dan representatif populasi, hasil hitung cepat akan mendekati populasi, yaitu real count. Sebagai akademisi dan pencinta matematika, dan karena teruji di pilpres, pileg dan pilkada sebelumnya, saya percaya akurasi prediksi delapan lembaga tadi.

Kunci keunggulan lembaga survei dari lembaga lainnya adalah kemampuan memilih sampel kecil tetapi representatif, meski masih stokastik (margin error 1%–2%), dengan menggunakan metode dan teknik sampling yang tepat. Untuk bijak dan pastinya, mengingat real count baru masuk belasan persen ketika artikel ini ditulis, kita harus menunggu pengumuman hasil real count satu bulan lagi. Saat itulah nilai statistik yang stokastik akan jadi nilai deterministik.♦

Budi Frensidy
Pengajar FEB-UI

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×