kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ451.001,79   8,19   0.82%
  • EMAS1.199.000 0,50%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
KOLOM /

Jurus memahami rights issue


Selasa, 16 Juli 2019 / 09:45 WIB
Jurus memahami rights issue


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Pohon yang bagus adalah yang selalu bertumbuh. Idealnya, pohon bertumbuh terus hingga mencapai langit, seperti pohon kacang dalam dongeng Jack dan Pohon Kacang Ajaib. Demikian juga halnya dengan sebuah perusahaan. Jika tidak tumbuh, perusahaan tersebut akan menjadi bonsai, cantik tetapi mini. Untuk bisa terus mencatatkan pertumbuhan, perusahaan akan membutuhkan pendanaan.

Ada tiga sumber pendanaan yang lazim dimiliki perusahaan. Pertama, dari laba bersih perusahaan yang tidak dibagikan kepada pemegang saham (laba ditahan). Kedua, dari berutang. Ketiga, dari aksi korporasi menambah modal ekuitas. Bagi perusahaan publik, cara menambah modal ekuitas bisa melalui sistematika dengan atau tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD).

Jika perusahaan menambah modal dengan melakukan aksi HMETD, perusahaan memberikan hak kepada seluruh pemegang saham saat ini untuk membeli saham baru yang diterbitkan secara proporsional. Misalnya, Tuan Gemblung adalah pemegang 50% saham suatu perusahaan. Maka ia berhak membeli 50% dari saham baru yang ditawarkan perusahaan. Proses ini sering disebut right issue atau right offering.

Jika menambah modal tanpa HMETD, maka perusahaan menawarkan saham barunya kepada publik. Cara ini sering disebut sebagai secondary public offering (SPO). Menambah modal ekuitas merupakan aksi korporasi yang penting bagi perusahaan publik, sehingga perlu ada persetujuan dari Otoritas Jasa keuangan (OJK) dan pemegang saham perusahaan, yang bisa diperoleh melalui mekanisme rapat umum pemegang saham (RUPS).

Investor atau pemegang saham suatu perusahaan yang sedang melakukan hajatan right issue perlu mencermati beberapa isu penting agar investasinya tidak merugi. Pertama, right issue bisa menimbulkan dua macam dilusi (pengenceran), yang akan dialami pemegang saham: dilusi kepemilikan (dilution of control) dan dilusi kekayaan (dilution of value). Analoginya, jika 1 liter teh manis ditambahkan 1 liter air lagi tanpa menambah gula, maka akan diperoleh 2 liter teh yang kurang manis.

Pada proses right issue, selembar saham baru biasanya akan dijual di bawah harga pasarnya. Misalnya, harga pelaksanaan right issue dipatok sebesar Rp 1.500, padahal harga saham di pasar sebesar Rp 2.000. Jika ada tambahan saham baru, tetapi uang yang masuk ke perusahaan berada di bawah harga pasar, nilai dan harga per saham otomatis akan turun. Selain itu, persentase kepemilikan seorang pemegang saham akan berkurang jika ia diam saja.

Sebagai contoh, sebuah perusahaan memiliki 1.000 saham beredar, dengan harga pasar sebesar Rp 1.000. Dengan demikian kapitalisasi pasar saham tersebut adalah Rp 1.000.000.

Si Polan memiliki 500 saham atau 50% kepemilikan di perusahaan tersebut. Maka total nilai pasar Polan adalah Rp 500.000. Lalu perusahaan tersebut menerbitkan 1.000 lembar saham baru melalui right issue dengan harga diskon, Rp 800 per saham. Artinya bakal ada tambahan dana Rp 800.000 ke aset perusahaan.

Jika Polan tidak membeli saham baru tersebut, maka kepemilikannya di perusahaan tersebut akan turun menjadi 25% (dari 500 dibagi 2.000 saham). Harga per saham juga akan otomatis akan turun menjadi Rp 900 (dari Rp 1.000.000 ditambah Rp 800.000 kemudian dibagi 2.000 saham). Polan akan mengalami dilusi kekayaan sebesar Rp 50.000, karena total nilai saham yang ia miliki kini hanya sebesar Rp 450.000 (dari 500 saham dikali Rp 900).

Agar tidak rugi akibat dilusi, pemegang saham harus membeli saham baru tersebut secara proporsional. Bila Polan membeli 50% dari saham baru yang ditawarkan, yaitu 500 lembar, maka ia tetap memiliki 50% dari saham perusahaan (dari 1.000 dibagi 2.000 saham). Kekayaan Polan juga tak berkurang, karena ia kini memiliki 1.000 lembar saham bernilai Rp 900.000. Angka ini setara dengan kekayaannya semula, yakni Rp 500.000 ditambah dana Rp 400.000 untuk beli 500 saham baru.

Bagaimana jika pemegang saham tidak memiliki dana untuk membeli saham baru? Atau bagaimana jika ia tidak bersedia menambah persentase kepemilikannya di perusahaan tersebut? Ada mekanisme pengalihan hak, atau dengan kata lain, HMETD bisa dijual kepada investor lain yang berminat menjadi pemegang saham.

Hal ini, misalnya, pernah dilakukan pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas saat right issue Bank Mandiri pada awal 2011. Dalam hal ini, uang dari penjualan HMETD diharapkan bisa menutupi efek dilusi nilai saham, namun pemegang saham harus siap menghadapi konsekuensi penurunan persentase kepemilikan. Pada right issue Bank Mandiri, pemerintah sengaja menurunkan persentase kepemilikan dari 67% menjadi 60%.

Isu penting lain adalah, pemegang saham sebaiknya mencermati tujuan dari penambahan modal ekuitas. Pada umumnya, perusahaan menggunakan dana dari right issue untuk membiayai investasi atau akuisisi, memperkuat permodalan (khususnya untuk bank) dan memperbaiki struktur modal (mengurangi utang).

Tujuan untuk menambah investasi adalah yang terbaik, karena mendukung strategi pertumbuhan perusahaan. Tentunya dengan mencermati jenis investasi baru yang diambil perusahaan.

Jangan anggap enteng right issue. Aksi korporasi ini bisa bikin harga saham kelimpungan. Misalnya, di pertengahan 2010 silam, harga saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) turun tajam gara-gara rencana right issue. Ternyata, sebagian investor BUMI galau karena harus menyuntikkan dana baru guna menghindari dilusi besar. Investor juga mempertanyakan efektifitas penggunaan dana dari right issue.

Lukas Setia Atmaja
IG: lukas_setiaatmaja www.hungrystock.com

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Storytelling with Data (Data to Visual Story) Mastering Corporate Financial Planning & Analysis

[X]
×