kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
KOLOM /

Kala Bursa Dilanda Virus Korona


Selasa, 10 Maret 2020 / 08:30 WIB
Kala Bursa Dilanda Virus Korona


Reporter: Harris Hadinata | Editor: Harris Hadinata

KONTAN.CO.ID - Tema tulisan ini pernah dimuat di kolom ini sebelumnya. Saya kembali tuliskan lagi tema ini karena masih banyak pertanyaan seperti ini: Portofolio saya memerah gara-gara virus korona. Sebaiknya saya cut loss atau tetap pegang saham?

Sejak merebaknya virus korona, harga saham di Bursa Efek Indonesia bergerak seperti irama roller coaster. Turun tajam, rebound, turun lebih tajam lagi, lalu rebound lagi.

Ketika kita membeli saham, kita harus siap tidak hanya mengalami kenaikan harga, tetapi juga penurunan harga saham. Masalahnya, tidak semua investor atau trader tahan melihat penurunan harga saham yang dimiliki. Apalagi jika penurunan harga saham tersebut cukup dalam dalam waktu sehari. Tambah lagi, penurunannya terjadi selama beberapa hari.

Beberapa bulan terakhir ini saja tercatat IHSG beberapa kali mengalami ayunan (swing) yang bisa membuat investor merasa mual.

Perlu diingat, harga saham di bursa dipengaruhi banyak faktor, baik yang rasional maupun irasional. Selain faktor fundamental perusahaan, kondisi ekonomi global maupun nasional serta peraturan pemerintah, harga saham juga sangat dipengaruhi oleh persepsi serta keyakinan pelaku pasar terhadap prospek di bursa saham.

Ada pula faktor psikologis seperti perilaku ikut-ikutan (herding behavior) yang membuat harga saham makin bergejolak.

Siapa yang tidak khawatir bahkan panik ketika harga saham turun dengan persentase yang cukup besar? Tidak semua investor bakal panik saat harga saham yang ia miliki turun. Setidaknya ada lima tipe investor atau trader saham yang masuk kategori cepat panik ini.

Pertama, investor saham yang tidak yakin dengan fundamental perusahaan yang sahamnya ia pegang. Hal ini bisa terjadi karena saat membeli saham tersebut, si investor tidak terlalu mengenal sahamnya.

Ia mungkin hanya ikut-ikutan, melihat sebuah saham harganya sedang mengalami tren naik. Atau ia membeli saham berdasarkan rekomendasi dari teman, broker (perusahaan sekuritas) atau berlangganan paket rekomendasi saham dari institusi yang sangat piawai dalam melakukan promosi.

Lantas, ketika harga sahamnya turun cukup besar (misal 5%-10%), ia akan mudah panik dan segera melakukan tindakan jual-rugi (cut loss). Ironisnya, tipe investor saham yang membeli tanpa pertimbangan matang seperti ini jumlahnya banyak.

Solusinya? Jangan pernah membeli kucing dalam karung. Kenalilah saham yang akan Anda beli dengan baik. Know what you buy, and buy what you know, kata Peter Lynch, fund manager legendaris.

Ingat bahwa setiap rekomendasi harus disikapi secara kritis. Bisa saja pemberi rekomendasi punya motivasi mementingkan dirinya sendiri. Misalnya ia sudah memiliki sahamnya dan ingin investor atau trader lain ikut-ikutan membeli supaya harga cepat naik, sehingga dia bisa segera menikmati keuntungan (profit taking).

Tipe kedua adalah investor saham yang cukup mengenal fundamental sahamnya, namun merasa membeli saham pada harga mahal. Ketika harganya turun, dia mudah panik.

Mahal tidaknya sebuah saham bisa dilihat dari price earnings ratio (PER). Sekadar ancar-ancar, PER sebesar 15 kali sering dianggap wajar. Saham dengan PER yang relatif tinggi, misalnya di atas 25 kali, dan tidak bisa dijustifikasi dengan prospek pertumbuhan laba bersih yang tinggi, punya kans jadi kemahalan.

Selain PER, sebuah saham yang sudah naik tinggi, misal di atas 50% dalam setahun, punya kans lebih besar mengalami koreksi harga. Ironisnya, investor justru cenderung lebih suka membeli saham ketika harganya sudah melambung tinggi.

Misalnya, saham PT Indah Kiat Tbk (INKP). Saat harga saham INKP cuma Rp 1.000, sedikit sekali investor yang melirik. Namun ketika harganya sudah naik hingga Rp 20.000, justru investor berbondong-bondong membeli. Aneh bin ajaib bukan?

Inilah bursa saham. Hal ini bisa terjadi karena perilaku ikut-ikutan (herding behavior). Bisa jadi sahamnya memiliki fundamental yang bagus seperti INKP, karena harga pulp sedang tinggi. Namun karena banyak investor, retail maupun institusi, ingin memilikinya, harga melejit tinggi.

Solusinya? Pertimbangkan secara matang valuasi sebuah saham sebelum membeli. Hati-hati membeli sebuah saham yang harganya sudah naik tinggi dalam waktu singkat.

Contohnya saham bank seperti BBRI, BBNI dan BBTN naik tinggi di 2017. Pada semester I-2018, saham-saham bank tersebut mengalami koreksi harga yang lumayan besar (30%-35%).

Tipe ketiga adalah investor saham yang sebenarnya memiliki horizon investasi jangka panjang, namun perlakunya dan cara berpikirnya masih terbawa seperti trader saham. Ia suka mengamati pergerakan saham secara jangka pendek. Sebentar-sebentar memeriksa harga saham, bahkan melihat running text saham. Ia merasa bahagia jika harga sahamnya naik, cepat khawatir jika harga sahamnya turun.

Tipe keempat adalah trader saham yang harus disiplin cut loss jika harga sahamnya sudah turun sekian persen. Jika keseringan cut loss, dananya akan habis. Misalnya, untuk batasan cut loss 10%, jika trader salah sebanyak 10 kali, ia akan kehabisan modal.

Terakhir, trader saham yang menggunakan fasilitas margin. Saat harga saham turun tajam, ia akan terkena margin call.

Kembali ke pertanyaan di awal tulisan. Jawabannya adalah, jika kita yakin saham yang kita pegang memiliki fundamental yang baik dan harganya masih jauh di bawah nilainya, sebaiknya tetap dipegang.

Selama ini berbagai krisis, besar maupun kecil, telah menghantam bursa saham. Sejarah membuktikan bahwa harga saham perusahaan yang bagus memiliki kemampuan untuk pulih, bahkan bisa melewati level tertinggi sebelumnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×