kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
KOLOM /

Kala bursa sedang bergoyang


Selasa, 10 September 2019 / 09:00 WIB
Kala bursa sedang bergoyang


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Sepanjang tahun ini harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) bergerak seperti irama roller coaster. Harga saham yang fluktuatif akibat demam perang tarif Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok tentu bukan situasi yang diharapkan oleh para pelaku pasar. Namun ketika kita membeli saham, kita harus siap menghadapi segala hal. Tidak hanya siap mengalami kenaikan harga, tetapi juga penurunan harga saham.

Masalahnya, tidak semua investor tahan melihat penurunan harga saham yang dimiliki, apalagi jika penurunan harga saham tersebut cukup dalam, dan terjadi hanya dalam waktu sehari, apalagi bila terjadi selama beberapa hari. Beberapa bulan terakhir ini saja tercatat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) beberapa kali mengalami ayunan (swing) yang bisa membuat investor merasa mual.

Perlu diingat bahwa harga saham di bursa dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor yang rasional maupun yang irasional. Selain faktor fundamental perusahaan, kondisi ekonomi global maupun nasional, serta peraturan pemerintah, harga saham juga sangat dipengaruhi oleh persepsi serta keyakinan pelaku pasar terhadap prospek di bursa saham. Ada pula faktor psikologis seperti perilaku ikut-ikutan (herding behavior) yang membuat harga saham makin bergejolak.

Investor seperti apa yang khawatir, bahkan panik, ketika melihat harga saham dalam portofolionya turun dengan persentase yang cukup besar? Setidaknya ada lima tipe investor atau trader saham yang masuk kategori ini.

Pertama, investor saham yang tidak yakin dengan fundamental perusahaan yang sahamnya ia pegang. Hal ini bisa terjadi karena investor saat membeli saham tersebut tidak terlalu mengenal saham yang ia beli tersebut.

Investor tadi mungkin hanya ikut-ikutan, melihat sebuah saham yang harganya sedang mengalami tren naik. Atau mungkin investor tersebut membeli saham berdasarkan rekomendasi dari teman, broker (perusahaan sekuritas) atau berlangganan paket rekomendasi saham dari institusi yang sangat piawai dalam melakukan promosi.

Akhirnya, ketika harga sahamnya mengalami penurunan harga yang cukup besar (misal, harga saham turun 5% hingga 10%), investor tersebut akan mudah panik dan segera melakukan tindakan jual-rugi (cut loss). Ironinya, tipe investor saham yang membeli tanpa pertimbangan matang seperti ini jumlahnya sangat banyak.

Solusinya? Jangan pernah membeli kucing dalam karung. Kenalilah saham yang akan Anda beli dengan baik. Know what you buy, and buy what you know, kata Peter Lynch, fund manager legendaris.

Ingat bahwa setiap rekomendasi harus disikapi secara kritis. Bisa saja si pemberi rekomendasi sebenarnya punya motivasi mementingkan dirinya sendiri. Misalnya ia sudah memiliki saham tersebut dan ingin investor/trader lain ikut-ikutan membeli, supaya harga sahamnya cepat naik sehingga dia bisa segera menikmati keuntungan (profit taking).

Tipe kedua, adalah investor saham yang cukup mengenal fundamental sahamnya, namun merasa membeli saham pada harga yang kemahalan. Ketika harganya turun, maka dia mudah panik.

Mahal tidaknya sebuah saham bisa dilihat dari Price Earnings Ratio (PER) saham tersebut. Sekadar ancar-ancar, PER sebesar 15 kali sering dianggap masih wajar. Saham dengan PER yang relatif tinggi, misalnya di atas 25 kali, dan tidak bisa dijustifikasi dengan prospek pertumbuhan laba bersih yang tinggi, punya kans untuk kemahalan.

Selain PER, sebuah saham yang sudah mengalami kenaikan harga tinggi, misal di atas 50% dalam setahun, punya kans lebih besar untuk mengalami penurunan (koreksi) harga. Ironisnya, investor justru cenderung lebih suka membeli saham ketika harganya sudah melambung tinggi.

Misalnya, saham PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (INKP). Saat harga saham INKP cuma sebesar Rp 1.000, sedikit sekali investor yang melirik. Namun ketika harganya sudah naik hingga Rp 20.000, justru investor berbondong-bondong membeli saham tersebut. Aneh bin ajaib bukan? Inilah bursa saham.

Hal ini bisa terjadi karena perilaku ikut-ikutan (herding behavior). Bisa jadi sahamnya memang memiliki fundamental yang sangat bagus, seperti INKP, karena harga pulp sedang tinggi. Namun karena banyak investor, baik ritel maupun institusi, ingin memilikinya, harga saham tersebut kemudian melejit tinggi.

Solusinya? Pertimbangkan secara matang valuasi sebuah saham sebelum kita membeli. Hati-hati saat membeli sebuah saham yang sudah mengalami kenaikan harga tinggi dalam waktu singkat.

Contohnya saham bank seperti BBRi, BBNI dan BBTN yang harganya naik tinggi di tahun 2017 lalu. Pada semester satu tahun 2018, harga saham-saham bank tersebut mengalami koreksi harga yang lumayan besar (antara 30% hingga 35%).

Tipe ketiga adalah investor saham yang sebenarnya memiliki horizon investasi jangka panjang, namun perilakunya serta cara berpikirnya (mind set) masih terbawa seperti trader saham. Ia suka mengamati pergerakan saham secara jangka pendek, sebentar-sebentar memeriksa harga saham, bahkan melihat running text saham. Ia merasa bahagia jika harga saham yang ia miliki naik, serta cepat khawatir jika harga sahamnya turun.

Tipe keempat adalah trader saham yang harus disiplin melakukan cut loss jika harga sahamnya sudah turun sekian persen. Tetapi tentu saja, jika trader tersebut terlalu sering melakukan cut loss, dananya akan habis. Misalnya, untuk batasan cut loss 10%, jika trader salah sebanyak 10 kali, ia akan kehabisan modal.

Terakhir, trader saham yang menggunakan fasilitas margin. Ketika harga turun tajam, ia akan terkena margin call.♦

Lukas Setia Atmaja 
www.hungrystock.com, IG: lukas_setiaatmaja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×