kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
KOLOM /

Kekayaan dan martabat


Senin, 26 November 2018 / 19:04 WIB
Kekayaan dan martabat
ILUSTRASI. Pengamat & Kolomnis Ekuslie


Reporter: Tabloid Kontan | Editor: Mesti Sinaga

Martabat manusia ditentukan bukan oleh kekayaannya, tapi oleh seberapa besar dia dapat memberikan manfaat bagi sekelilingnya.

Sepanjang zaman, sudah banyak kita lihat, bahkan orang kaya yang justru kurang bermartabat dibandingkan orang yang kurang kaya.

Bagi saya, martabat manusia ditentukan oleh seberapa sungguh-sungguh manusia menempatkan kepentingan yang lebih luhur dan mulia, di atas kepentingannya sendiri. Martabat manusia ditentukan oleh seberapa manusia itu sudah “selesai dengan dirinya”.

Kepada orang kaya yang kebetulan membaca tulisan di atas, mohon jangan tersinggung dulu. Kalimat di atas bukanlah untaian tulisan saya pribadi, ataupun nasihat dari teman yang sok bijak.

Petuah di atas adalah penggalan pidato pengusaha senior sekaligus juga salah satu orang terkaya di Indonesia, Teddy Rachmat, dalam acara Scholar Conference 2018, yang digelar Yayasan A&A Rachmat di Jakarta, 12 September 2018.

Tentunya bukan tanpa alasan, jika pengusaha kaya sekelas Teddy melontarkan gagasan yang agak abstrak seperti “martabat”.

Mengutip Soekarno, yang pada perayaan HUT Proklamasi tahun 1964 berseru, “Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu bangsa, sebelum bangsa itu mengubah nasibnya sendiri”, Teddy mengajak ratusan generasi muda yang hadir dalam acara tersebut untuk membangun kemampuan dan tekad menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat.

Namun, sesungguhnya apa itu martabat?

Salah satu pelopor gagasan “martabat’ (dignity) adalah Immanuel Kant, filsuf besar dari Jerman. Bagi Kant, setiap fasilitas yang dimiliki atau dinikmati manusia mempunyai harga sendiri-sendiri.

Keinginan manusia terhadap sesuatu, apakah itu barang, jasa, bahkan juga kedudukan dan jabatan, memiliki harga yang dapat disetarakan dengan “nilai” tertentu. Kita membeli sebuah produk dan layanan, maka kita akan membayar sejumlah “nilai” tertentu.

Sama halnya pula, karya seseorang dalam kedudukan dan jabatan tertentu, akan ditebus dengan bayaran sejumlah nilai tertentu pula.  Namun, bagi Kant, ada satu milik manusia yang tak dapat dihargai dengan sejumlah nilai tertentu, yakni : martabat.

Martabat adalah pantulan sejati dari kemanusiaan itu sendiri. Tanpa martabat, seorang manusia tak lebih dari sesosok tubuh, sekalipun ia menggenggam harta yang melimpah, kuasa yang menumpuk dan popularitas yang mengguncang.

Makanya, tidaklah mengherankan, bila kita melihat sosok yang punya nama besar, namun senantiasa berjalan menunduk; punya kekuasaan, tapi khawatir bersua khalayak banyak; punya harta, malah dihantui rasa bersalah.

Bahkan, karena merasa dikejar-kejar, diam-diam melipir lewat  pintu belakang, tak sanggup berjalan tegak lewat gerbang utama.

Padahal, seperti kata pepatah bijak knowing when to walk away is wisdom; being able to, is courage. Walking away with your head held high is...dignity.

Bikin perbedaan

Dalam perspektif Kant, martabat adalah landasan yang memungkinkan seseorang (atau sebuah entitas) untuk berdiri tegak sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Namun, dalam pidatonya, Teddy lebih jauh mengajak kita bukan hanya menjadi makhluk yang sanggup berdiri tegak di atas pijakan kaki sendiri, namun juga mampu menciptakan manfaat bagi sekitar. Bahasa kerennya, creating difference atawa menghadirkan perbedaan penuh maslahat bagi sesama.

Bagi para pegiat bisnis, mungkin ini terkesan gagasan yang utopis.

Namun, jangan lupa, toh saat ini sudah ada perusahaan-perusahaan yang secara positif mendapatkan pengakuan sebagai organisasi pengubah dunia alias change the world company, semisal: Apple, Toyota, Novartis, Unilever, dan juga Gojek dari Indonesia (Fortune, September 2017).

Dan, Teddy Rachmat yang juga seorang pengusaha pun sudah membuktikan bahwa itu bukanlah utopi. Bahwa itu sebuah perjuangan yang berat dan penuh tantangan, tak ada yang bisa memungkiri.

Seorang teman penyair pernah bertutur heroik, “hidup yang terlalu mudah dijalani adalah hidup yang pantas dicurigai”. Maknanya sederhana saja, di tengah jalan menuju puncak pencapaian, terbentang seribu tantangan.

Pembaca, Anda mungkin pernah mendengar kalimat bijak, “Your kids share your last name, not your business and properties”.

Pada akhirnya, anak cucu kita akan menyandang nama keluarga di belakang nama pribadinya. Mereka tak akan melengkapi nama dirinya dengan daftar perusahaan dan kepemilikan yang kita wariskan kepadanya.

Ini selaras dengan isi bagian penutup dari pidato Teddy di atas. Begini bunyinya, “Tuhan tidak menilai kita dari kekayaan kita. Tapi, Tuhan tersenyum atas makna dan karya yang kita berikan sepanjang perjalanan hidup kita. Itulah martabat kita."

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×