kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45931,36   3,72   0.40%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
KOLOM /

Keteladanan


Selasa, 23 April 2019 / 16:17 WIB
Keteladanan


Reporter: Tabloid Kontan | Editor: Mesti Sinaga

KONTAN.CO.ID -  Kita pasti pernah mendengar pepatah satire, tikus mati justru di lumbung padi. Paradoks itulah yang segera menghinggapi benak saya, tatkala baru-baru ini mendengar berita OTT terhadap ketua umum salah satu partai.

Mengapa? Karena diduga terlibat dalam kasus suap jual-beli jabatan di Kementerian Agama, dan yang bersangkutan adalah ketua umum dari partai yang agamis.

Kementerian Agama dan partai agamis yang semestinya menjadi garda depan dalam urusan pemuliaan nilai-nilai religiusitas dan akhlak kemanusiaan, justru menunjukkan hal sebaliknya.

Menyambung pepatah paradoks di atas, seorang teman pernah bertutur ketus, “Tak jarang, dosa terjadi justru di tempat yang harusnya suci”.

Saya pernah melihat seorang ibu yang menegur anaknya. Katanya, “Kamu harus disiplin, jangan seperti mama yang tidak disiplin! Karena mama tidak disiplin, makanya kamu harus disiplin!”.

Adalah logis bahwa orangtua berharap anaknya berkembang dan berperilaku lebih baik dari dirinya. Namun, jelas sangat tidak logis ketika seseorang (termasuk juga orangtua) menuntut orang lain (juga anak sendiri!) untuk bersikap dan berperilaku sesuatu yang tidak ingin atau mampu dia tunjukkan.

Secara bergurau, guru saya menyebutnya sebagai fenomena: Do what I say, but don’t do what I do. Padahal, salah satu peran utama kepemimpinan adalah menjadi panutan.

Dalam buku, Walk the Walk (2009), Alan Deutschman menulis bahwa pemimpin mempunyai dua sarana dalam menjalankan tugasnya, yaitu lewat ucapan dan tindakan.

Namun, “Apa yang mereka ucapkan mungkin saja menarik, tapi bagaimana mereka bertindak, itu yang lebih penting”, ujar Deutschman.

Mengonfirmasi kata dengan perbuatan adalah wujud pertanggungjawaban seseorang terhadap apa yang diyakininya. Kalau seseorang mewartakan apa yang tidak diyakininya, berarti ia sedang berkampanye mengumbar janji.

Sama halnya, kalau seseorang tidak melakukan apa yang diwartakannya, berarti ia sedang mengkhianati hati nurani. Padahal, sejatinya kepribadian manusia yang integere (utuh)  akan dituntun oleh akal budi dan hati nurani.

Inilah pengertian “integritas” yang selama ini lalulalang dalam diskusi keseharian kita, yang mengandaikan adanya kepribadian yang utuh dan satu; yang tidak memisahkan antara pikiran dan perilaku.

Tak lain tak bukan, integritas jugalah yang menjadi sumber keteladanan seorang pemimpin bagi segenap konstituennya.

Tentang hikmah keteladanan, menarik untuk disimak cerita kepemimpinan Umar bin Abdul-Aziz (682–720), yang diberi gelar Umar II.

Umar II begitu sadar bahwa menjadi pemimpin pada hakekatnya adalah menjadi pengemban amanah rakyat. Dengan demikian, alih-alih memperkaya diri, hartanya semasa menjadi pemimpin malah nyaris habis.

Semua  itu dilakukan Umar II semata-mata untuk kepentingan rakyat. Begitu cermatnya akan penggunaan fasilitas negara, Umar II hanya akan menyalakan lampu milik umum jika pekerjaannya berhubungan dengan kepentingan rakyat.

Ketika urusan rakyat selesai, ia akan memadamkan lampu itu dan segera menyalakan pelita kecil miliknya sendiri.

Perlu ketegasan

Kisah keteladanan yang teguh lainnya dapat kita temukan pula dalam dia diri Cao Cao, salah satu tokoh dalam cerita Cina klasik, Sam Kok (Tiga Kerajaan). Cao Cao  dikenal sebagai penguasa yang kejam, namun penuh ketegasan luar biasa.

Suatu ketika, ia mengumumkan bahwa kalau ada yang merusak sawah penduduk, pelakunya harus dihukum mati.

Celakanya, pada suatu hari justru kuda Cao Cao sendiri yang masuk ke sawah. Tanpa ragu, ia pun menyediakan lehernya untuk dipancung.

Akhirnya, bawahannya hanya memotong kuncirnya karena begitu terharu dengan ketegasan sikapnya, bahkan kepada diri sendiri.

Sang jiwa agung, Mahatma Gandhi pernah berkata, “Happiness is when what you think, what you say, and what you do are in harmony”.

Satunya pikiran, perkataan dan perbuatan akan membentuk kepribadian yang utuh, sementara  ketidakselarasan di antara ketiganya akan mendatangkan kepribadian yang terbelah dan teralienasi.

Kepribadian manusia yang utuh akan mendatangkan kebahagiaan diri, sekaligus juga keteladanan bagi orang-orang di sekitar.

Ketika para pemimpin tak sanggup lagi menjadi panutan, mungkin mereka tetap bisa duduk leluasa di kursi kekuasaan. 

Namun, tak perlu baper pula, jika publik ramai-ramai mematikan televisi saat muncul wajah mereka. Atau juga, spontan menutup telinga, saat mendengar suara berisikan kata-kata tanpa makna.           ◆

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×