kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
KOLOM /

Kultur inovasi


Selasa, 02 April 2019 / 17:46 WIB
Kultur inovasi


Reporter: Tabloid Kontan | Editor: Mesti Sinaga

KONTAN.CO.ID -  Inovasi adalah buzzword  alias ‘kalimat sakti’ yang ada di dalam kamus bisnis sepanjang masa.

“Tanpa inovasi, perusahaan hanya menunggu waktu untuk mati. Tanpa inovasi, sebuah organisasi hanya bisa hidup dalam hitungan hari.”

Apakah itu sebuah keyakinan yang berdasar atau tidak, toh buktinya semua pihak mengamininya.

Lebih jauh, umumnya inovasi dikaitkan dengan anasir kebebasan, mulai dari kebebasan untuk berpikir, bersikap dan juga bertindak.

Inovasi diyakini akan berhasil, jika perusahaan menyediakan lingkungan yang: memperbolehkan orang lain untuk melakukan kegagalan (tolerance for failure), mendorong orang untuk bereksperimen (willingness to experiment), membebaskan orang untuk berpendapat (free to speak up), dan juga mengkondisikan orang untuk bekerjasama tanpa batasan hirarkis formal (collaborative and non-hierarchical).

Tak ada yang salah dengan gagasan-gagasan kebebasan di atas. Namun, itu jelas tidak cukup untuk membangun kultur dan praktik inovasi yang kuat.

Dalam artikelnya bertajuk The Hard Truth About Innovative Cultures (HBR, Jan-Feb 2019), Gary P. Pisano (profesor administrasi bisnis dari Harvard Business School) mengatakan bahwa masing-masing unsur di atas musti diimbangi (counter-balanced) dengan perilaku yang  tegas dan keras, yang mungkin terdengar tak menyenangkan.

Pertama, toleransi terhadap kegagalan (tolerance for failure), musti diimbangi dengan intoleransi terhadap ketidakcakapan (no tolerance for incompetence).

Untuk memastikan bahwa praktik inovasi mendatangkan hasil yang baik, perlu dipastikan bahwa pelaku inovasi adalah orang-orang yang memang cakap dan kompeten di bidangnya.

Menempatkan orang-orang yang tak cakap dalam urusan inovasi artinya menyiapkan kegagalan inovasi.

Padahal kegagalan yang boleh ditolerir adalah kegagalan yang muncul secara tak terduga akibat proses pembelajaran, bukan akibat ketidakcakapan yang sangat mudah diduga.

Kedua, kesediaan untuk melakukan eksperimen (willingness to experiment), musti diimbangi dengan sikap disiplin yang tinggi (high discipline).

Inovasi bukanlah sebuah eksperimen bebas dan liar, yang sekadar dilakukan dengan semangat “coba-coba”. Eksperimen inovatif adalah percobaan yang dilakukan dengan proses persiapan yang matang, langkah yang metodologis dan eksekusi yang penuh kedisiplinan.

Ketiga, kebebasan untuk berpendapat (freedom to speak up), musti diimbangi dengan kejujuran yang sesungguhnya (brutal candidness).

Kita tahu bahwa semua orang, apapun  jenjang dan pangkatnya, ingin mendengar sekaligus juga didengar.

Jadi, jika atasan memiliki kebebasan untuk berpendapat dan mengkritik bawahannya, maka hal yang sama juga berlaku sebaliknya.

Seorang bawahan pun punya keleluasaan mengkritik atasannya. Kejujuran menuntut keberanian dan keterbukaan dari masing-masing pihak, tanpa memandang golongan, senioritas dan jabatan

Kepemimpinan kuat

Keempat, kerjasama kolaboratif (collaboration), musti diimbangi dengan pertanggungjawaban individual (individual accountability).

Seringkali sebuah proyek kerjasama menimbulkan kegamangan dalam pertanggungjawaban, karena semua merasa bahwa itu adalah tanggungjawab bersama.

Padahal, dalam konteks pekerjaan, everybody’s accountability means nobody’s accountability. Dalam semangat kerjasama, tetap harus ada individu-individu yang sepenuhnya bertanggung-jawab terhadap agenda dan target-target tertentu.

Terakhir, struktur organisasi yang flat dan tidak hirarkis (non-hierarchical), musti diimbangi dengan praktik kepemimpinan yang kuat (strong leadership).

Walaupun tak mudah memahami hal ini, ilustrasi berikut bisa mencerahkan pengertian kita.

Almarhum Sergio Marchionne, tokoh di balik kebangkitan dan merger antara perusahaan Fiat dan Chrysler, pernah bertutur bahwa “Ada dua prinsip yang saya gunakan pada saat melakukan business innovation and turnaround. (1) Saya membuat struktur organisasi yang lebih flat, karena saya harus mengurangi jarak antara saya dan orang-orang yang mengambil keputusan; (2) Namun, jika muncul masalah, saya akan mencoba mencari tahu secara langsung dari orang-orang yang terlibat, bukan bos mereka”.

Ringkas cerita, untuk membangun kultur dan praktik inovasi yang kuat, tak hanya dibutuhkan kebebasan yang penuh kreativitas, namun juga tanggungjawab yang sarat kedisiplinan .   ◆

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×