kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
KOLOM /

Menengok manfaat heuristic di pasar


Senin, 22 Juli 2019 / 09:00 WIB
Menengok manfaat heuristic di pasar


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Pengambilan keputusan secara cepat, kadang tidak dilengkapi informasi yang cukup, sering membuat pelaku pasar mengalami kerugian. Dalam ilmu keuangan perilaku seperti ini disebut heuristic.

Dalam kehidupan sehari-hari kita juga mengalami kondisi ini. Misal, banyak orang termakan iklan sehingga membeli sesuatu berdasarkan merek yang diiklankan. Fenomena ini dijelaskan oleh Kahneman dan Tversky (1982) terjadi karena sebagian besar orang mengandalkan aturan praktis (rule of thumb) dalam mengambil keputusan.

Goldberg dan Nitsch (2001) mengatakan, heuristic adalah sebuah aturan praktis memperoleh informasi untuk mengambil keputusan dengan cepat, meski keputusan tersebut belum tentu optimal. Dalam beberapa kasus, penyederhanaan pengambilan keputusan justru menghasilkan keputusan yang tidak rasional.

Bias heuristic sering terjadi karena orang hanya dapat memproses paling banyak tujuh macam informasi secara bersamaan. Heuristic sering muncul ketika kita mendapat begitu banyak informasi dan tidak ada waktu untuk memproses informasi yang ada secara keseluruhan.

Bias ini juga terjadi ketika kita merasa sebuah hal tidak terlalu penting untuk diputuskan secara akurat. Selain itu, pengalaman masa lalu atau pengalaman terakhir kerap digunakan seseorang untuk membuat keputusan. Heuristic terdiri dari representativeness, availability, anchoring and adjustment, serta familiarility.

Representativeness adalah sebuah strategi membuat keputusan berdasarkan sejauh mana sebuah peristiwa mempunyai kemiripan dengan peristiwa yang lain. Ketika pelaku pasar mengalami kerugian karena saham perusahaan yang dibeli bangkrut akibat utang, hal ini bisa mempengaruhi keputusannya di masa depan. Pelaku pasar tersebut akan cenderung menghindari membeli perusahaan atau saham yang mempunyai utang besar.

Bias ini telah dibuktikan beberapa penelitian, yang menunjukkan prediksi kebangkrutan sebuah perusahaan lebih didasarkan pada kemiripan laporan keuangan sebuah perusahaan. Sebuah perusahaan yang mengalami kebangkrutan cenderung diteliti laporan keuangannya. Ketika ada perusahaan lain yang mempunyai laporan keuangan mirip, cenderung dianggap berisiko mengalami kebangkrutan.

Contoh lain, ada perusahaan mengalami kenaikan harga saham akibat laporan keuangan yang baik. Banyak pelaku pasar cenderung membeli saham perusahaan tersebut ketika harga sahamnya terkoreksi atau turun, karena mereka berasumsi kinerja masih bagus. Padahal keputusan investasi idealnya tidak hanya didasarkan pada kinerja di masa lalu, tetapi juga proyeksi atau perkiraan kinerja di masa yang akan datang.

Memprediksi peluang dan kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan di masa mendatang akan membuat keputusan pelaku pasar lebih optimal. Dalam analisis teknikal, analisis chart pattern juga merupakan akibat bias representativeness, di mana sebuah pola di masa lalu dianggap akan berulang di masa yang akan datang.

Availability adalah kecenderungan orang membuat keputusan berdasarkan informasi yang mudah didapat. Kahneman dan Tversky (1973) mengatakan, availability adalah kecenderungan seseorang mengambil keputusan mengandalkan informasi yang ada dalam memorinya.

Penggunaan memori ini kerap menghasilkan keputusan yang tidak tepat dan akurat, sebab memori seseorang terbatas. Bias ini sering terjadi karena pelaku pasar kekurangan informasi penting atau informasi yang dimiliki tidak relevan untuk mengambil keputusan.

Faktor inilah yang menyebabkan terjadinya support dan resistance harga saham. Ketika pelaku pasar membeli sebuah saham dan untung, maka dia cenderung akan membeli kembali saham tersebut ketika harga saham turun ke level pembelian sebelumnya. Yang menarik, level support yang lebih dekat dianggap memiliki kekuatan lebih besar dibandingkan dengan level support yang terjadi lebih lama. Ini terjadi karena bias availability.

Bias familiarility juga merupakan kelompok heuristic yang sering dialami investor. Familiarility membuat seorang pelaku pasar berinvestasi pada saham atau perusahaan yang sudah dikenal (Baker dan Nofsinger, 2002). Yang sering terjadi dalam investasi saham adalah kecenderungan pelaku pasar lokal berinvestasi pada perusahaan di dalam negeri dibanding perusahaan luar negeri.

Hal ini tak terlepas dari rasa nyaman para pelaku pasar. Bias ini terjadi jika pelaku pasar merasa sudah lebih mengenal perusahaan tersebut. Dalam berinvestasi, kita cenderung mencari perusahaan yang telah dikenal, baik dari sisi manajemen, produk ataupun nama perusahaan.

Ini membuat investor individual lebih banyak berinvestasi atau bertransaksi saham di bursa dalam negeri. Bias ini dapat dimanfaatkan perusahaan atau emiten untuk mendapatkan lebih banyak investor ritel dengan mengadakan program company visit. Investor yang pernah melakukan kunjungan ke kantor atau pabrik sebuah perusahaan, atau setidaknya pernah berbincang dengan jajaran direksi atau manajemen, cenderung akan berinvestasi di perusahaan tersebut.

Bias lain dalam kelompok heuristic adalah anchoring dan adjustment. Bias ini terjadi karena seseorang cenderung mengawali sebuah nilai tertentu untuk melakukan penilaian. Keputusan diambil membutuhkan sebuah angka referensi (anchoring) dan sesudah itu ada penyesuaian (adjustment).

Bias ini mempengaruhi akurasi dalam melakukan prediksi. Ketika seorang analis ditanya tentang target laba sebuah perusahaan, referensi awal yang digunakan adalah data terakhir di masa lalu, sesudah itu melakukan penyesuaian terhadap angka tersebut. Model valuasi dengan menggunakan valuasi relative yang melibatkan data keuangan perusahaan di masa lalu atau keuangan perusahaan sejenis di masa lalu, juga merupakan aplikasi bias anchoring dan adjustment.

Untuk memprediksi nilai perusahaan di masa depan banyak analis dan pelaku pasar menggunakan Price Earning Ratio (PER) dan Price Book Value (PBV). Target dan nilai buku perusahaan didapat dari proyeksi data di masa lalu, sedang target PER dan PBV didapat dari data masa lalu perusahaan bersangkutan atau perusahaan sejenis di pasar. Dari angka tersebut analis atau pelaku pasar melakukan penyesuaian.

Biarpun heuristic merupakan bias, ternyata bias bisa menjadi strategi di pasar saham. Pelaku pasar dapat menggunakan analisis teknikal untuk memperoleh keuntungan akibat bias-bias yang terjadi. Di sisi lain, emiten mampu menarik minat pelaku pasar berinvestasi, dengan rajin mengkomunikasikan kinerja perusahaan.♦

Yohanis Hans Kwee
Praktisi Pasar Modal, Dosen FEB Trisakti dan MET Atmajaya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×