kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45932,69   4,34   0.47%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
KOLOM /

Problem solving vs design thinkings


Senin, 10 Desember 2018 / 15:59 WIB
Problem solving vs design thinkings
ILUSTRASI. Pengamat & Kolomnis Ekuslie


Reporter: Tabloid Kontan | Editor: Mesti Sinaga

KONTAN.CO.ID -  Mungkin banyak di antara kita yang bertanya gusar, mengapa agenda dan proyek inovasi yang selama ini dijalankan tak menunjukkan hasil yang memuaskan?

Ide-ide kreatif yang dilahirkan tampak biasa-biasa saja, tak “cetar membahana” seperti gagasan para pemikir yang brilian.

Kalaupun idenya cemerlang, eksekusinya seringkali terbata-bata dan gampang kehabisan bensin di tengah jalan. Akibatnya, banyak yang frustrasi karena praktik inovasi mereka tak mendatangkan hasil mengkilap seperti perusahaan-perusahaan start up unicorn semisal Gojek, Tokopedia ataupun Traveloka.

Tanpa disadari, banyak bias pribadi yang membuat kita tak bisa berpikir  maksimal untuk melahirkan ide-ide inovatif, yang seringkali bersifat imajinatif; yang tampak seperti mengawang-awang. Selain itu, saat ini belum mewujud nyata, yang samasekali baru dan tak terhubung dengan kondisi lama.

Manusia mempunyai kebiasaan untuk terpaut dengan realitas masa kini, dan tak nyaman untuk memikirkan imajinasi di masa depan. Pada zaman old, kita berpikiran bahwa pembelilah yang harus menyambangi penjual di toko, sebelum akhirnya ada orang yang membayangkan fasilitas delivery service.

Sama halnya, dulu orang berpikir bahwa transaksi dagang hanya bisa dilakukan di ruang toko secara fisik, sebelum akhirnya ada yang memiliki imajinasi dan menawarkan konsep online market place.

Tak heran, genius sekelas Albert Einstein jauh lebih menghargai imajinasi daripada pengetahuan. Karena ia pun tahu bahwa, “We can’t solve problems by using the same kind of thinking we used when we created them”.

Untuk keluar dari persoalan lama, kita betul-betul harus menggunakan pola pikir yang baru.

Banyak organisasi, khususnya organisasi besar, yang terampil dalam “pemecahan masalah” (problem solving) untuk menangani urusan operasional kesehariannya.

Kecakapan problem solving tersebut menghasilkan operasi perusahaan yang lebih efisien. Waktu produksi menjadi lebih ringkas, biaya kerja menjadi lebih murah, dan mutu produk juga lebih baik. Teman-teman pegiat manajemen menyebutnya sebagai praktik operational excellence.

Namun, meskipun mendatangkan operational excellence, kebiasaan problem solving ternyata juga mendatangkan sisi buruk lainnya.

Problem solving membantu kita memperbaiki produk bisnis ataupun proses kerja yang lama, namun tak mampu mendorong kita melahirkan produk ataupun proses yang sama sekali baru.

Untuk keperluan yang terakhir, yakni menciptakan suatu terobosan baru, kita memerlukan pendekatan yang berbeda, yang disebut pula sebagai design thinking.

Sekilas, banyak yang menganggap problem solving dan design thinking sebagai perkara yang sama, yakni sama-sama untuk menyelesaikan masalah dan menyiasati keadaan. Padahal, sesungguhnya kedua hal tersebut sangat berbeda.

Design thinking bukanlah salah satu teknik problem solving, melainkan proses berpikir untuk melahirkan ataupun merancang (desain) sesuatu yang baru.

Dalam praktiknya, problem solving cenderung terpaku untuk menyelesaikan “masalah lama”, sementara design thinking berfokus untuk melahirkan “solusi baru”; problem solving akan didekati dengan perspektif produsen, sementara design thinking akan ditempuh lewat sudut pandang konsumen.

Solusi baru

Oleh karena itu, seorang pemilik toko kelontong terbiasa berpikir untuk senantiasa melengkapi barang-barang di rak tokonya, memperpendek antrian pembayaran, dan membuat ruangan terasa nyaman dan sejuk. Ini adalah “solusi lama” atas persoalan lama yang dihadapi.

Namun, ia tak terlatih untuk melahirkan solusi baru semisal penyediaan virtual store yang menarik dengan sistem transaksi daring yang cepat.

Pemilik toko merasa bahwa yang dibutuhkan oleh konsumen adalah fisik toko yang sejuk dan pelayan yang ramah, padahal yang secara nyata dibutuhkan oleh konsumen (khususnya saat ini) adalah transaksi yang cepat dan nyaman.

Seorang teman memberikan analogi yang menarik tentang perkara di atas. Membandingkan problem solving dan design thinking ibarat membandingkan insinyur teknik sipil dan insinyur teknik arsitektur.

Katanya, kalau kita berniat untuk sekadar memperbaiki rumah lama yang sudah ada, maka mintalah bantuan kepada insinyur teknik sipil.

Namun, jika kita memang hendak membangun rumah yang sama sekali baru, maka pertama-tama mintalah bantuan kepada insinyur teknik arsitektur.

Para arsitek lah yang akan merancangnya. Mereka akan menuangkan angan-angannya menjadi gambar visual; membuat kertas yang semula kosong melompong menjadi bentuk penuh ragam. Semakin segar dan kreatif gambar mereka, semakin menarik pula di mata mereka yang melihatnya.

Dan..., bukankah itu ciri inovasi yang berhasil? Segar, kreatif, dan penuh terobosan menarik bagi mereka yang akan menikmatinya.     ◆

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×