kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
KOLOM /

Rehat


Senin, 18 Februari 2019 / 15:04 WIB
Rehat


Reporter: Tabloid Kontan | Editor: Mesti Sinaga

KONTAN.CO.ID -  Sepuluh hari menjelang akhir tahun 2018 lalu, seorang rekan  yang merupakan direktur di sebuah perusahaan besar memberikan pengakuan yang agak mengejutkan kepada saya.

Sementara beberapa koleganya sudah mulai mengambil cuti dan menjalani liburan panjang bersama keluarga, ia masih duduk terpaku di ruang kerja hingga larut malam. “Sedang ada project yang tak bisa ditinggalkan,” tuturnya lirih.

Sangat kentara terlihat, bahwa yang bersangkutan sedang tak antusias, bahkan tak berdaya menghadapi situasi yang ada. 

Tampaknya, ambisi pribadi yang luar biasa agresif dan tuntutan kompetisi binis yang dahsyat telah menuntun sang teman pada situasi yang tak pernah ia sadari dan tak pernah dia bayangkan sebelumnya.

Bagaimana tidak? Setiap hari, di kesunyian pagi dan saat anaknya masih tertidur, ia sudah harus mandi dan memeriksa pesan-pesan ataupun e-mail yang masuk ke telepon-cerdasnya (smartphone).

Selanjutnya, ia akan sarapan sebentar sebelum memacu mobil mewahnya ke kantor, yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya yang asri.

Acapkali, ia bahkan harus ke tempat tertentu untuk rapat sembari sarapan, yang secara keren disebut breakfast meeting.

Bertahun-tahun, ritme kerja dan kehidupan seperti ini dijalani sang teman. Pada awalnya, semua dijalani dengan begitu antusias dan penuh gairah. Hingga, pada suatu saat datang protes keras dari anak lelakinya yang berumur 16 tahun.

Beberapa waktu sebelumnya, sang anak mengamuk karena merasa kesal pada ayahnya yang selama ini (dianggap) tak menggubris keluarga dan dirinya.

Amukan itu dilampiaskannya dengan cara merusak bodi mobil bagian depan hingga penyok penuh goresan, sekaligus salah-satu lampunya juga pecah berantakan.

Pemicu tindakan brutal sang anak adalah kemarahan sang ayah terhadapnya yang asyik bermain gim di depan komputer, sementara keluarga menunggunya untuk bersantap malam di hari Minggu.

Sebagai balas dendam, sang anak pun merusak barang yang dianggap penting oleh ayahnya, sekaligus menjadi “biang kerok” atas kesibukan pekerjaan ayahnya selama ini.

Re-kreaksi

Apa yang dialami teman di atas adalah potret dilematis kehidupan seorang pimpinan perusahaan besar di era kompetisi yang super ketat.

Robert Reich, penulis buku Supercapitalism: The Transformation of Business, Democracy, and Everyday Life (2007), menegaskan, hanya ada dua jalur yang bisa ditempuh dalam pasar tenaga kerja saat ini, yakni : jalur cepat dan jalur lambat.

Satu-satunya jalur yang mampu mengantar seseorang ke jenjang jabatan yang lebih tinggi adalah jalur cepat alias fast-track.

Fast-track ini berarti, sang pelintas jalur harus bekerja sepanjang hari (pagi, siang dan malam), serta rela mengorbankan waktu bagi keluarga.

Kehadiran teknologi digital yang canggih dan selalu terkoneksi (always connected), membuat urusan pekerjaan, keluarga dan pribadi menjadi tak terpilahkan secara baik.

Istilah “family-time”, apalagi “me-time” tidak relevan dalam konteks supercapitalism, karena setiap detik adalah “business-time”.

Awalnya, sang teman secara sadar memilih “jalur cepat’ sebagai landasan pacu kariernya, hingga tragedi protes keras sang anak menghantamnya. Perusakan mobil yang dilakukan sang anak telah menyadarkan dirinya.

Ahli psikologi, Debra Condren, menyebut fenomena “kerja secara gila-gilaan” sepanjang hari ini dengan istilah “toxic workaholic”. Ada beberapa tanda yang dapat dikenali dari para pengidap sindroma ini, yakni:

1. selalu bertengkar dengan pasangan untuk perkara pembagian waktu bagi keluarga,
2. anak-anak berhenti mengundangnya untuk menghadiri pesta ulang-tahun mereka dan selebrasi keluarga lainnya,
3. karyawan-karyawannya tidak menggubris pekerjaan mereka lagi, karena tuntutan sang atasan yang begitu tinggi dan tak tertahankan, dan
4. yang bersangkutan tetap bekerja walaupun sedang dalam keadaan tidak sehat.

Filsafat timur “yin-yang” mengajarkan kita untuk senantiasa hidup seimbang. Hanya di atas keseimbangan, kehidupan alam semesta dan seisinya dapat berjalan kokoh. Ada siang dan malam, terang dan gelap, laki-laki dan perempuan.

Bukankah hal yang sama juga berlaku dalam kehidupan pekerjaan? Ada saatnya untuk bekerja, juga ada waktunya untuk beristirahat.

Ada saatnya menggenjot produksi, pun ada waktunya untuk melakukan rekreasi. Bukan sebuah kebetulan jika momen untuk istirahat, berhenti sebentar dari hiruk pikuk pekerjaan, dan juga menyenangkan hati sendiri, disebut sebagai “re-kreasi”.

Maknanya, aktivitas tersebut dibutuhkan manusia sebagai upaya untuk kembali melakukan kreasi di masa yang akan datang.

So... saatnya rehat sejenak, kawan.    ◆

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×