kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
KOLOM /

Siklus baru


Senin, 04 Maret 2019 / 15:05 WIB
Siklus baru


Reporter: Tabloid Kontan | Editor: Mesti Sinaga

KONTAN.CO.ID -  Masih dalam suasana tahun baru, banyak orang  memasuki tahun 2019 ini dalam suasana yang serba tak menentu (uncertain).

Ada perasaan yang bercampur antara satu dan lainnya. Di satu pihak, kita harus optimistis; di lain pihak, kenyataan menuntut kita harus waspada.

Dunia bisnis ingin menggeliat kencang, namun kenyataan pasar sering membuat kita deg-degan. Angka ekonomi makro cukup menggembirakan (inflasi sangat terkendali, suku bunga juga terjaga, nilai tukar rupiah pelan-pelan kembali stabil), namun banyak keluhan muncul dari pelaku ekonomi di tingkat mikro.

Beberapa pelaku  bisnis menyebut suasana “campuran” ini dengan istilah cautiously optimistic alias optimisme penuh kewaspadaan; istilah yang sudah digunakan oleh direktur pengelola IMF, Christine Lagarde, beberapa tahun lalu.

Mengawali tahun baru 2019, seorang CEO memberikan arahan kepada segenap jajaran manajemen perusahaan perihal siasat mengarungi tahun yang tak menentu ini.

Mengutip mahaguru manajemen modern, Peter Drucker, sang CEO bertutur penuh hikmat bahwa di tengah kondisi yang serba VUCA (volatile, uncertain, complex, ambigous), “The best way to predict the future is to create it”.

Alih-alih mengandalkan dukungan eksternal (yang serba tak menentu itu), sang CEO justru lebih menekankan pentingnya membangun kekuatan internal, yang relatif bisa dikelola dan dikendalikan oleh diri kita sendiri.

Sudah menjadi pengertian kita bersama bahwa setiap entitas, entah itu bisnis, organisasi dan juga produk, memiliki siklus hidup. Kita mengenalnya juga dengan sebutan business atau organization atau product life cycle.

Namanya juga “hidup”, sudah menjadi suratan takdir bahwa ada saatnya untuk lahir, bertumbuh, renta dan kemudian mati menutup-mata. Dan lagi-lagi, itu terjadi untuk semua entitas kehidupan, termasuk  organisasi bisnis.

Oleh karenanya, tak mengherankan bila kita melihat perusahaan yang begitu besar dan digdaya, yang dibangun dengan sejarah panjang, bisa tiba-tiba menjadi renta dan lemah, dan akhirnya bangkrut untuk selamanya.

Makanya, bagi sang CEO, salah satu kemampuan internal yang harus dibangun perusahaan (khususnya perusahaan besar) untuk menghindarkan diri dari risiko kematian adalah kemampuan untuk membangun siklus hidup yang baru. Disebut pula sebagai new cycle atau second cycle.

Istilah second cycle sejatinya sudah pernah dipakai oleh Lars Kolind lebih dari sepuluh tahun yang lalu dalam bukunya bertajuk The Second Cyle (2006).

Buku itu tak hanya semata-mata berisi ulasan teoretis dan kerangka konseptual belaka, melainkan berupa refleksi pengalaman langsung sang penulis saat melakukan business turnaround di Oticon, perusahaan manufaktur alat bantu pendengaran (hearing aids) terbesar di dunia.

Mapan dan lamban

Kolind mengungkapkan bahwa untuk mempertahankan kelanggengan usaha, tidak ada jalan lain bagi sebuah organisasi selain “memperbaharui dirinya” alias inovasi.

Sayangnya, banyak perusahaan (khususnya perusahaan mapan atawa mature organization) yang gagal dan lamban melakukan inovasi. Hal ini terjadi bukan karena kekurangan dan keterbatasannya, namun justru karena kedigdayaan dan kesuksesannya.

Ada tiga faktor yang selama ini menjadi ukuran keberhasilan sebuah korporasi, yakni: skala bisnis yang besar, usia perusahaan yang matang, dan prestasi yang menakjubkan.

Sayangnya, berdasarkan studi Kolind, ketiga hal tersebut acapkali menciptakan birokrasi organisasi yang lamban sekaligus sombong.

Jenjang organisasi menjadi semakin banyak, prosedur kerja tertata kaku, perencanaan senantiasa bersifat spekulatif tak kena sasaran.

Tak lupa pula, banyak rapat yang dilakukan secara boros, laporan bertumpuk-tumpuk, serta intrik dan friksi dianggap hal yang lumrah.

Bahkan beberapa perusahaan, dengan setengah mendongak mengatakan bahwa “That’s our way”.

Akumulasi budaya tersebut menyebabkan pucuk pimpinan organisasi semakin jauh dari konsumen, juga dari karyawannya sendiri.

Mengapa? Karena banyak informasi yang datang terlambat, bahkan seringkali disaring terlebih dahulu oleh jajaran di sekelilingnya.

Arogansi, yang tercermin dalam jargon our way, juga membuat perusahaan merasa paling benar dengan cara berbisnis dan bekerjanya, sehingga cenderung mengacuhkan bahkan meremehkan masukan dan tantangan dari pihak luar.

Menutup briefing-nya di awal tahun 2019, sang CEO pun bertutur “Selamat tahun baru. Kita masuki tahun baru dengan membangun siklus hidup yang baru, yang lebih inovatif, responsif dan terbuka terhadap tuntutan perubahan zaman”.    ◆

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×