kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
KOLOM /

Struktur modal dan nilai perusahaan


Selasa, 17 September 2019 / 11:05 WIB
Struktur modal dan nilai perusahaan


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Bila melihat sejarah perkembangan perusahaan, awalnya struktur modal kerap tidak menjadi perhatian para pemegang saham. Biasanya, ketika baru berdiri, sebuah perusahaan menggunakan dana dari pemegang saham. Kadang-kadang ada utang, tetapi sering kepada pihak terafiliasi.

Ketika perusahaan sudah berkembang dan memenuhi aturan perbankan, baru perusahaan mulai menarik pinjaman dari bank. Beberapa perusahaan menggunakan surat berharga, baik di pasar uang ataupun modal. Sampai satu titik, perusahaan mulai memilih mendapatkan tambahan modal dengan menawarkan saham lewat bursa.

Ada beberapa alasan perusahaan go public. Salah satunya, struktur permodalan dan aset yang tersedia sudah tidak memadai untuk mendapat tambahan utang dari bank atau kreditur. Pada posisi ini sering keluar pertanyaan, bagaimana proporsi ideal struktur modal sebuah perusahaan agar mendapat nilai yang paling optimal?

Bicara struktur modal, maka teori irrelevan yang dikemukakan Modigliani dan Miller (1958) menyebutkan struktur modal sebuah perusahaan tidak relevan menentukan nilai perusahaan. Nilai sebuah perusahaan lebih ditentukan oleh keputusan investasi dan keputusan operasional.

Hal ini terjadi karena asumsi yang digunakan di antaranya tidak ada pajak dan biaya transaksi, baik bagi perusahaan maupun perseorangan. Perusahaan dan individual dapat meminjamkan dan meminjam dana dengan tingkat bunga bebas risiko.

Perusahaan juga diasumsikan hanya dapat menerbitkan dua macam sekuritas, dalam hal ini saham dan risk free debt. Semua investor diasumsikan punya homogeneous expectation terkait aliran laba perusahaan di masa yang akan datang.

Asumsi yang digunakan tersebut banyak dikritik tidak realistis, karena tidak mungkin sebuah perusahaan dapat beroperasi tanpa membayar pajak. Selain itu terdapat selisih suku bunga antara meminjam dan meminjamkan dana.

Tapi teori ini tetap jadi acuan, meski asumsi yang digunakan dianggap tidak realistis. Sebab, teori ini mampu memberi penjelasan yang masuk akal terhadap berbagai variabel yang dianalisa. Dalam perkembangan, teori ini banyak mendapat perubahan asumsi sehingga mampu menjelaskan pengaruh struktur modal pada nilai perusahaan.

Modigliani dan Miller kemudian memasukkan unsur pajak perusahaan ke dalam model penelitian mereka. Hasilnya, komposisi struktur modal atau pemanfaatan utang berpengaruh terhadap nilai perusahaan.

Pertanyaannya, pada komposisi berapa hal itu berpengaruh? Jawabannya tidak masuk akal, karena porsi utang paling ideal adalah 100%. Ini terjadi karena ketika perusahaan berutang, maka timbul biaya bunga. Biaya bunga jadi komponen pengurang pajak.

Selain itu, dengan utang, porsi modal sendiri di perusahaan tetap rendah, sehingga return on equity (ROE) pemegang saham makin tinggi bila perusahaan menghasilkan keuntungan dengan menggunakan modal utang.

Tapi pemanfaatan utang yang terlalu besar punya konsekuensi. Penggunaan utang berlebih membuat perusahaan menghadapi biaya kebangkrutan dan kesulitan keuangan (financial distress).

Megginson (1997) mengatakan, biaya kebangkrutan dan kesulitan keuangan akan menghambat penggunaan utang bila risiko kebangkrutan berakibat pada penurunan permintaan produk perusahaan. Konsumen mengkhawatirkan layanan purna jual perusahaan dan kemungkinan naiknya biaya produksi akibat pemasok mungkin tidak mau lagi menjual produk mereka kepada perusahaan.

Selain itu, risiko kebangkrutan atau kesulitan keuangan akan mendorong para manajer melakukan tindakan yang dapat merugikan nilai perusahaan secara keseluruhan. Salah satunya, manajer memilih proyek yang sangat berisiko dengan harapan mendapat return tinggi, sehingga menutupi kesulitan keuangan yang dihadapi.

Pemilihan proyek yang berisiko meningkatkan risiko bagi perusahaan dan sangat merugikan pemberi utang. Bila proyek gagal, maka aset yang tersisa akan semakin sedikit.

Proses kebangkrutan juga menimbulkan biaya kebangkrutan, baik langsung maupun tidak langsung. Biaya langsung adalah kas yang keluar untuk administrasi dan persidangan kebangkrutan. Biaya tidak langsung terjadi karena aset dan investasi yang tidak terurus dengan maksimal. Keluarnya orang-orang kunci serta tersitanya waktu manajer selama proses kebangkrutan juga masuk biaya.

Selain faktor kebangkrutan, ada biaya agensi (agency cost) yang mempengaruhi struktur modal perusahaan. Jensen dan Meckling (1976) mengatakan, manajer tidak selalu bertindak sesuai kepentingan pemegang saham. Ini terjadi pada perusahaan yang sudah berkembang, sehingga orang yang mengoperasikan perusahaan (manajer) dengan pemegang saham punya kepentingan berbeda.

Pemegang saham fokus ke peningkatan nilai perusahaan, sehingga meningkatkan kekayaan pemegang saham. Manajer juga memikirkan kepentingan pribadinya. Ini mendorong timbulnya biaya agensi di perusahaan, sehingga perusahaan perlu membuat divisi internal audit, pembentukan komite audit, direktur independen dan komisaris independen.

Jensen dan Meckling merekomendasikan menambah posisi utang untuk menurunkan masalah agensi ini. Dengan meningkatnya porsi utang maka akan semakin kecil porsi saham yang harus dijual, sehingga masalah agensi pemegang saham dan manajer menjadi kecil.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan struktur modal, salah satunya dengan pemanfaatan utang, punya pengaruh ke nilai sebuah perusahaan. Pemegang saham dan para manajer harus memaksimalkan seluruh sumber daya yang dimiliki agar nilai perusahaan maksimal. Salah satunya lewat pemanfaatan utang dalam struktur modal.♦

Yohanis Hans Kwee
Praktisi Pasar Modal, Dosen FEB Trisakti dan MET Atmajaya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×