kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
KOLOM /

The power of dream


Senin, 25 Februari 2019 / 15:42 WIB
The power of dream


Reporter: Tabloid Kontan | Editor: Mesti Sinaga

KONTAN.CO.ID -  Wacana apa yang paling ramai diperbincangkan pada saat memasuki tahun baru? Apalagi kalau bukan perkara resolusi? 

Ada yang secara terang-terangan menyatakannya kepada orang lain dengan penuh percaya diri, ada yang malu-malu kucing membuat janji di dalam hatinya sendiri.

Senyampang mempunyai sedikit waktu, saya mencoba mencari tahu apa yang menjadi resolusi beberapa teman.

Kebanyakan dari mereka, khususnya para millenials, begitu bersemangat mendeklarasikan resolusi, yang umumnya bernada optimistis dan penuh harapan.

Menariknya, ada seorang sobat lama yang biasanya begitu bergairah menatap masa depan, justru tampak tak bergairah menyongsong tahun baru ini.

Dengan seadanya ia bertutur, “Jangankan memikirkan resolusi, tahun depan bisa dilewati dengan baik saja sudah bagus!”.

Pembaca, rasanya bauran kegairahan dan kegundahan dalam menyongsong tahun anyar di atas tak hanya terjadi di aras individual, namun juga dalam konteks politik.

Dalam rangkaian kampanye pemilihan presiden dan legislatif tahun 2019, kita juga mendengar nada-nada yang serupa.

Ada kelompok yang mengajak kita menatap ke depan dengan mata berbinar, dan menyongsong agenda pemilu serentak dengan antusias dan gembira. 

Namun, ada juga yang menghimbau untuk mempersiapkan siasat pertarungan dengan pikiran penuh curiga, dan menyambut hajatan politik lima tahunan tersebut laksana perang besar antar saudara.

Ada yang antusias membayangkan Indonesia sebagai salah satu negara terbesar dan termaju di dunia pada tahun 2030, pun ada pula yang khawatir republik ini akan bubar tak berbekas alias punah.  

Memang demikianlah hakekat kehidupan alam semesta. Selalu ada nada optimisme sekaligus juga pesimisme dalam sebuah perkara, seperti layaknya siang dan malam, hitam dan putih, serta baik dan buruk.  

Namun, saat memikirkan wacana harapan yang murung di atas, saya teringat dengan pertemuan saya dengan seorang sahabat dari Nangroe Aceh Darussalam beberapa hari lalu.

Kami sempat membicarakan peristiwa tsunami besar yang terjadi belasan tahun silam, persisnya 20 Desember 2004.

Sejenak, benak saya memutar ulang tayangan gelombang air laut raksasa yang menyapu sebagian besar wilayah Banda Aceh.

Luapan air yang menggunung tinggi menggulung segala yang ada di permukaan daratan. Banyak mobil malang melintang, perkakas rumah berserakan, dan ranting pohon terbawa hanyut arus tsunami.

Masih ada di bayangkan kita, ribuan sahabat-sahabat kita di Aceh lari mencari tempat yang tinggi untuk mengungsi dan menyelamatkan diri.

Sejarah mencatat, tsunami besar itu telah mengakibatkan ratusan ribu nyawa melayang, ribuan bangunan roboh memeluk tanah, dan Aceh waktu itu menjadi kota yang sungguh amat nelangsa.

Semua orang hanya bisa tenggelam dalam isak tangis, sedih dan perih, juga rasa putus asa. Bagi yang masih diberi umur, tak satu pun yang berpikir untuk mempersiapkan diri menyongsong pergantian tahun baru pada saat itu.

Mirip seperti omongan sang teman di atas, “jangankan memikirkan harapan di tahun depan, bisa lewati hidup dengan baik saja sudah bagus!”

Itulah siratan hati sebagian warga Aceh pada saat itu.

Namun, apa yang terjadi saat ini?

Kesadaran positif

Namun, apa yang terjadi saat ini?

Menurut sahabat Aceh tersebut, banyak kesadaran positif yang muncul pada diri masyarakat Serambi Mekkah setelah peristiwa tragis 2004. Muncul kesadaran untuk mengoreksi diri, memperbaiki tatanan masyarakat, dan membangun daerah secara positif.

Aceh baru hadir kembali dengan tatanan masyarakat yang lebih kuat, dan jauh lebih berkembang. Mengutip pepatah lawas, sang teman bertutur bijak “Selalu ada harapan di balik kekelaman yang dialami. Persis seperti guyuran hujan deras yang melahirkan pelangi”.

Tiba-tiba saya teringat dengan penggalan lagu berjudul The Power of Dream, yang dinyanyikan oleh Celine Dion. Begini bunyinya, “The power of dream, the faith in things unseen, and the courage to embrace our fear”.

Sejatinya, berharap adalah menaruh kepercayaan atas sesuatu yang belum nyata. Terlebih lagi, memupuk keberanian untuk memeluk rasa takut yang hadir di hati. Untaian kalimat yang mudah diucapkan, namun butuh kekuatan untuk mewujudkannya.   

Adalah tugas para pemimpin untuk terus memupuk harapan di hati setiap warga, sekalipun di tengah situasi yang menyesakkan dada.

Juga, adalah amanah seorang pemimpin untuk membangun kekuatan yang mampu mengatasi rasa takut yang ada di hati rakyatnya.  

Akhirul kalam, tulisan ini sekadar refleksi dari seorang warga, yang tetap memelihara mimpi dan asa untuk mendapatkan pemimpin yang ikhlas dan percaya diri untuk membangun bangsanya. ◆

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×