kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
KOLOM /

Titanic yang tinggi hati


Kamis, 10 Januari 2019 / 07:30 WIB
Titanic yang tinggi hati


Reporter: Tabloid Kontan | Editor: Mesti Sinaga

KONTAN.CO.ID - Saya baru saja menonton ulang film lawas klasik, Titanic, yang  menjadi super box office pada akhir 1990-an. Titanic adalah kapal super mewah yang dirancang para teknisi perkapalan terhebat pada zamannya.

Titanic direkayasa dengan bantuan teknologi mutakhir kala itu, dan pembuatannya menelan biaya jutaan dolar. Dengan gagah perkasa, kapal ini diklaim sebagai the unsinkable ship alias kapal yang tak bisa tenggelam.

Siang hari, Titanic terlihat seperti hotel yang berbintang sebanyak-banyaknya. Pada malam hari, kapal raksasa itu laksana kota apung yang penuh kelap-kelip. Ia menjadi simbol kemegahan dan kemewahan tiada tara.

Secara iseng, saya menyandingkan Titanic denga kapal Nabi Nuh. Kapal Sang Nabi, tak lebih tak kurang, hanyalah kapal biasa yang dibuat sekadarnya oleh tangan-tangan manusia.

Juga dengan bahan kayu yang seadanya pula. Walaupun demikian, karena pesan Ilahi yang diterimanya, Nuh membuatnya dengan sabar, cermat dan penuh hikmat.

Hasilnya? Kapal Nabi Nuh yang terisi penuh dengan anggota keluarga dan segenap hewan, dapat bertahan kokoh menghadapi gejolak badai dan air bah empat puluh hari empat puluh malam.

Bagaimana dengan Titanic? Siapa nyana, dalam awal perjalanannya, Titanic sudah harus kandas membentur gunung es akibat amukan badai.

Titanic dibuat dengan semangat pamer dan unjuk kegagahan, sementara kapal Nabi Nuh dikerjakan dengan kesahajaan dan rasa tahu diri.

Berlawanan dengan pepatah kuno yang berbunyi kegagalan adalah awal dari kesuksesan, Robert Kuok, hartawan Asia pemilik jaringan hotel Shangri-La, justru berpendapat sebaliknya.

Kata Robert, seringkali kesuksesan justru melahirkan kegagalan, karena kesuksesan membuat seseorang  pada situasi yang arogan, berpuas diri, sembrono dan pada gilirannya menjadi tak cermat.

Mirip seperti apa yang dialami oleh Titanic, yang berpuas diri dan “jatuh cinta” pada kemegahannya sendiri. Akibatnya, lalai mengantisipasi dan mengatasi hantaman badai dalam perjalanan.

Kolesterol Organisasi

Apa yang dikatakan Robert Kuok, juga dapat terjadi pada sebuah perusahaan.

Ketika perusahaan mencapai kesuksesan, seringkali mereka menjadi lebih mencintai diri sendiri. Mereka lalai memahami dan menghargai pelanggan seperti sebelum mereka sukses. Mereka berhenti berinovasi, malas melakukan perbaikan, tidak lagi bekerja keras, dan takut mengambil risiko.

Mereka begitu sibuk dengan diri sendiri, sehingga tidak lagi fokus untuk memperbaiki diri.  Karena mereka mengabaikan perubahan untuk waktu yang cukup lama, maka masalah pun bermunculan.

Perusahaan secara bertahap akan menjadi tidak efisien, sombong, dan memegahkan diri. Dan, itulah yang menjadi cikal bakal kegagalan mereka memenangkan persaingan.

Mari kita kilas balik cerita tiga raksasa otomotif Amerika Serikat, yakni General Motos Corp (GM), Chrysler LLC, dan Ford Motor Co. Mereka dikenal dengan The Big Three, yang pada tahun 2009 meminta dana talangan kepada kongres Amerika sekitar US$ 40 Miliar, guna menyelamatkan industri otomotif Amerika Serikat.

Saat penggalan berita itu dimuat berbagai media internasional dan lokal di awal tahun 2009, banyak yang dibuat terkejut.

Bagaimana mungkin tiga perusahaan otomotif terbesar, berumur ratusan tahun, hadir di lebih dari 30 negara, memiliki sekitar 160 pabrik di seluruh dunia, dan produk-produknya merajai jalan-jalan hampir di seluruh dunia, bisa nyaris bangkrut?

Bukankah dulunya mereka perusahaan-perusahaan sangat sukses? Mengapa sekarang mereka bisa terperosok dalam?

Beberapa pengamat manajemen menyebut apa yang dialami oleh kelompok  The Big Three sebagai buaian kesuksesan penuh kesombongan.

Lihat saja, bagaimana para pemimpin The Big Three di tengah krisis keuangan perusahaan, pun masih bisa terbang dengan jet pribadi dari Detroit ke Washington untuk ”mengemis” dana talangan ke Kongres Amerika.

Seringkali organisasi yang terlihat sehat, sukses, dan berkinerja bagus, lebih rentan dari pada apa yang kita bayangkan. Mereka justru acapkali mengidap kolesterol organisasi yang tinggi, yang ditandai adanya sumbatan komunikasi, hambatan kreativitas, sifat puas diri, pamer kemegahan dan arogansi.

Oleh karena itu, daripada menunggu terjadinya serangan jantung, pemimpin organisasi harus senantiasa berbenah diri dan meningkatkan kemampuan pembelajarannya secara antisipatif.

Dan, itu butuh sikap kerendahan hati untuk selalu terbuka terhadap perubahan-perubahan di sekitarnya.

Lagi-lagi, kata Robert Kuok, “Humility has only pluses and no minuses. And, it cost us nothing.”   ◆

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×