kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Momen berbagi dan menahan diri

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 16 Juli 2018 / 14:40 WIB
Momen berbagi dan menahan diri

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: mesti.sinaga

Hidup adalah sebuah kesempatan, demikian bunyi kalimat emas yang sangat diyakini seorang teman.

Beliau adalah sahabat, yang sangat taat beribadah, entah secara ritual ataupun sosial. Setiap kali memasuki bulan puasa, dia selalu menyambutnya dengan riang gembira.

Di tengah ibadah puasa yang dijalaninya, praktis tak pernah ada raut lunglai di wajahnya, bahkan cenderung sumringah. Entahlah, dari mana sang teman mendapatkan energi positifnya tersebut.

Bagi sang teman, alih-alih memahami ibadah puasa sebagai kewajiban dan tanggungjawab, ia justru menghayatinya sebagai kesempatan.

Persisnya, kesempatan untuk mengamalkan kesalehan rohani, dan juga peluang untuk melatih hidup fitri; sebuah kehidupan yang sekadar mencukupkan diri, dan tidak didorong oleh nafsu-nafsu hewani. Makan minum secukupnya, beribadah semestinya, serta berpikiran dan berkehendak semurni-murninya.

Dan, selain berpuasa, sang teman juga melengkapi ibadahnya dengan bersedekah. Jika puasa adalah kesempatan untuk berlatih menahan diri, maka bersedekah adalah peluang untuk membangun sikap berbagi.

“Lengkaplah sudah kemuliaan sikap sang teman di momen bulan suci ini”, tutur saya di dalam hati.

Secara naluriah, manusia lebih terlatih untuk “mengambil” (to take), daripada “berbagi” (to give). Padahal, sikap berbagi adalah perilaku yang selalu dianjurkan dalam berbagai ajaran agama.

Entah melalui aksi bernama zakat, persepuluhan atau sekadar donasi.

Sikap berbagi sejatinya laksana air yang mengalir. Mengapa? Karena sungai yang airnya mengalir akan selalu segar, bersih, dan memancarkan aura kehidupan.

Bandingkan dengan empang, yang airnya hanya menetap, keruh, berbau, serta memantulkan aura kematian.

Makanya, perairan di perbatasan Yordania dan Israel dinamai Laut Mati, karena airnya yang tidak mengalir ke mana-mana, dan terperangkap dalam kurungan lautnya sendiri.

Pada hakekatnya, tindakan berbagi adalah mengalirkan kembali apa yang dimiliki, untuk dapat dinikmati oleh orang-orang di sekitar kita.

Sesungguhnya, berpuasa dan bersedekah adalah dua aksi yang secara secara simultan melawan musuh peradaban yang paling besar, yakni kerakusan (greed).

Kerakusanlah yang mendorong orang merampok, korupsi dan memiliki sesuatu yang bukan menjadi haknya.

Secara global, kerakusan pula yang membuat struktur perekonomian menjadi rapuh, dan tak sanggup menopang kesejahteraan masyarakat dunia secara merata.

Di Indonesia, kerakusan yang membuat negara yang begitu kaya raya dengan hasil buminya, seperti tak sanggup mengongkosi segenap rakyat dengan penghidupan yang layak.

Padahal, sejatinya Sang Khalik sudah menciptakan isi bumi ini dengan lengkap, jika sekadar untuk memberikan kecukupan (bukan kelimpahan) kepada segenap makhluk di dalamnya.

Seperti dikatakan oleh maha-guru Mahatma Gandhi, earth provides enough to satisfy every man’s need, but not every man’s greed.


 

Momen Pilkada

Jika disusuri lebih dalam, doa dalam ajaran agama apapun senantiasa berisi seruan kepada Yang Ilahi, agar diberi penghidupan yang secukupnya, bukan penghidupan yang sebanyak-banyaknya.

Seorang sahabat sufi pernah membagikan kepada saya doa favoritnya di pagi hari. Bunyinya sederhana, “Tuhan, berilah aku makanan yang secukupnya, juga pada hari ini”.

Ia tidak berdoa agar diberi makanan yang berlimpah ruah, apalagi mewah; juga tidak berdoa untuk mendapat deposito miliaran rupiah untuk sekian tahun ke depan.

Sang teman percaya dengan apa yang dikatakan oleh filsuf Jerman abad 19, Arthur Schopenhauer, yakni wealth is like sea water, the more we drink, the thirstier we become.

Kembali kepada petuah Mahatma Gandhi, kalau sekadar untuk hidup dengan kecukupan, sesungguhnya tak ada alasan bahwa alam tak mampu menyediakannya.

Namun, jika perangkap kerakusan diri sudah merasuki pikiran banyak manusia, seberapapun kayanya alam raya, tetap semuanya menjadi tak cukup.

Bulan depan, bangsa kita mempunyai hajatan besar bertajuk pilkada. Serentak diselenggarakan beragam daerah di seluruh Indonesia.

Menurut jadwal, hari-hari ini adalah saatnya para calon untuk berkampanye; waktu di mana mereka dan kelompok pendukungnya beramai-ramai mempromosikan diri dan meminta dukungan kepada segenap rakyat.

Dalam suasana kontestasi kepemimpinan, ajang promosi dan permohonan dukungan ini acapkali dilakukan dengan cara yang vulgar, tak sadar etika, dan juga menyiratkan sikap kerakusan akan kekuasaan.

Ada hikmahnya juga, bila pada tahun ini saat kampanye “bertemu” dengan waktu ibadah puasa. Di tengah hiruk pikuk kontestasi, kita justru diingatkan untuk senantiasa “menahan diri”, bukannya “mengumbar janji”.

Juga diingatkan bahwa kekuasaan perlu didekati dengan sikap arif bijaksana, bukannya kerakusan diri yang tanpa batas.  ?



TERBARU

×