kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Membangun jembatan

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 02 Oktober 2017 / 16:47 WIB
Membangun jembatan

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: mesti.sinaga

Sekali lagi, teknologi media sosial yang semestinya menjadi sarana komunikasi antar-manusia lintas geografi, generasi, dan juga ideologi, dalam perkembangannya justru bergerak sebaliknya.

Alih-alih menjadi “jembatan penghubung”, media sosial justru beralih menjadi “tembok pembelah” yang memecah persaudaraan antar-manusia.

Begitu mudah kita menemukan kandungan (content) berisi klaim kebenaran yang absolut. Untuk satu fenomena yang sama, semua pihak bisa melakukan tafsir menurut ajaran dan ideologinya sendiri-sendiri.

Menariknya, masing-masing pihak merasa benar dengan hasil tafsirnya, dengan tak lupa mengajukan pembelaan argumentasi yang dianggap kuat.

Dalam ilmu logika, kita diajarkan bahwa kebenaran bersifat tunggal. Jika satu ditambah satu adalah dua, maka yang menjawab selain dua sudah pasti salah adanya.

Dengan demikian, jika menggeluti satu persoalan yang sama, ada dua pihak mengklaim dirinya sama-sama benar, maka jelas itu fenomena di luar logika.

Kebenaran ganda seperti ini jelas tidak logis. Namun, walaupun tak logis, hal seperti ini jelas bersifat psikologis.

Jika kebenaran logis bersifat tunggal dan mutlak, maka kebenaran psikologis bersifat relatif dan dapat didiskusikan. Klaim kebenaran psikologis seperti inilah yang telah membuat relasi antar-sesama anak bangsa menjadi bergeser.


 

Alih-alih menjadi pihak yang saling bekerja sama, justru menjadi pihak yang saling bersengketa. Padahal kita semua pasti berharap agar hubungan di antara kelompok berbeda paham dapat berjalan harmonis, sehingga kedamaian dapat terjaga dan kemajuan bisa diraih sebagai sebuah bangsa.

Persoalannya, bagaimana semestinya hubungan kemitraan tersebut harus dibangun?

Suatu hari, saya bertanya kepada seorang pengusaha besar yang memiliki kongsi bisnis bersama beberapa pengusaha raksasa lainnya.

Di dalam kongsi tersebut, kepemilikan saham di antara mereka relatif seimbang, tanpa ada yang mendominasi secara signifikan.

Menariknya, hingga saat ini, perusahaan tersebut berjalan baik dan relasi antar-pemegang saham juga berlangsung harmonis.

Apa kiatnya? Ada beberapa hal yang disampaikan beliau, namun satu hal mendasar yang digarisbawahinya adalah prinsip kemitraan.

Katanya, “dalam membangun kemitraan, kita harus menempatkan seolah-olah sang mitra lebih penting daripada diri kita sendiri.”

Kata seolah-olah di sini menunjukkan hal yang bersifat “psikologis”, karena secara logis, kepentingan masing-masing pihak toh sebenarnya sudah diatur secara tertulis di dalam akta kemitraan.

Kesiapan psikologis untuk mendahulukan kepentingan orang lain, membuat orang akan mampu untuk mengelola “ego”nya dengan baik.

Lebih mendengarkan

Dalam kajian psikologi, ada perbedaan yang mendasar antara ego yang besar (big ego) dan ego yang kuat (strong ego).

Big ego cenderung kaku, terpusat pada diri sendiri (self-centric) dan ingin mengendalikan orang lain. Sementara strong ego terbuka, menghargai orang lain dan menjunjung tinggi semangat win-win.

Big ego cenderung haus perhatian dan menuntut pengertian dari orang lain, sementara strong ego justru mampu memberikan perhatian dan pengertian kepada orang lain.

Orang bijak mengatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan dua telinga dan satu mulut, bukannya tanpa makna.

Berbekal dua helai telinga, semestinya manusia lebih terlatih untuk mendengarkan daripada meminta untuk didengarkan; mencoba mendengarkan dan mengerti orang lain terlebih dahulu, sebelum berharap untuk didengarkan dan dipahami.


 

Namun, kenyataan justru menunjukkan kebalikannya. Orang lebih terampil untuk berbicara daripada mendengarkan, dan menuntut untuk dimengerti daripada berusaha mengerti orang lain.

Padahal, jika orang mampu mendengarkan dengan seksama dan memiliki sikap “mendahulukan kepentingan orang lain”, selalu ada kemungkinan alternatif jalan keluar dari kemelut sengketa.

Alkisah, ada dua anak kecil yang mahir bermain ketapel, alat pemantik batu tradisional yang dilesatkan ke sebuah sasaran.

Mereka berlomba untuk mengumpulkan buah apel sebanyak-banyaknya dari pohon yang tingginya tak lebih dari dua kali tinggi badan mereka.

Karena merasa mahir bermain ketapel dan ingin mengumpulkan buah apel lebih banyak, mereka pun segera melesatkan batu kecil berulang-ulang.

Ada beberapa batu yang mengenai sasaran, namun lebih banyak yang meleset. Diantara apel-apel yang terjatuh, cukup banyak yang bentuknya cacat tersobek sabetan batu.

Singkat cerita, dari upaya yang dikerahkan, ternyata tak cukup banyak buah apel utuh yang mereka bisa dapatkan.

Jika kedua anak meluangkan waktu sedikit saja untuk berdiskusi dan saling memahami, bukankah mereka bisa mendapatkan apel dalam jumlah yang jauh lebih banyak dan kondisi yang lebih utuh?

Jika mereka bersedia menanggalkan ego mereka untuk berkompetisi dan memamerkan keahlian ber-ketapel, dan sebaliknya saling menggendong atau bahu-membahu, bukankah mereka bisa menjangkau dan memetik buah apel itu secara mudah dan utuh?

Benarlah kata pepatah bijak, “sebaik-baiknya membangun tembok persaingan, tetap jauh lebih baik membangun jembatan silaturahmi.”



TERBARU

×