kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Elastisitas peradaban

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 30 Oktober 2017 / 13:51 WIB
Elastisitas peradaban

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: mesti.sinaga

Saat ini, kita hidup dalam dunia yang bergerak cepat, bahkan sangat cepat! Semua manusia dan pihak di muka bumi menjadi saling terkoneksi, yang mengakibatkan banyak perubahan di ranah teknologi, politik, sosial, demografi dan ekonomi terjadi secara simultan dan siap mengguncang dunia dengan seketika.

Para pakar menyebut periode ini sebagai era Industri 4.0, yang saat ini menjadi salah-satu buzzword paling hits di kalangan praktisi bisnis.

Istilah Industri 4.0 digunakan untuk menggambarkan praksis industri pada awal dekade ini. Kanselir Jerman Angela Merkel, dalam pertemuan World Economic Forum 2015, menjelaskan bahwa Industri 4.0 lahir dari integrasi teknologi digital dan produksi industri.

Secara sederhana, mari bayangkan sebuah pabrik pintar (smart-factory) yang berisikan mesin-mesin dan robot-robot yang sanggup mengerjakan tugas-tugas rumit, saling bertukar informasi dan memberi/ menerima perintah secara otomatis, tanpa melibatkan makhluk bernama manusia!

Semua proses produksi berjalan dengan internet sebagai penopang utama. Seluruh fasilitas dan sarana pabrik dilengkapi dengan artificial-intelligence, yang mampu mengoperasikan dirinya lewat sistem teknologi informasi dan algoritma pengolahan data yang sangat complicated.

Angka 4.0 di atas pada dasarnya menilik kepada tahapan revolusi industri yang keempat. Revolusi industri pertama terjadi pada abad 18, saat ditemukannya mesin-mesin bertenaga uap yang memungkinkan manusia beralih dari pemanfaatan tenaga hewan ke mesin-mesin produksi mekanis.

Revolusi industri kedua berlangsung pada abad 19, tatkala dunia perindustrian beralih ke tenaga listrik yang mampu menciptakan produk secara massal. Sementara, revolusi industri ketiga terjadi pada abad 20, saat perangkat elektronik mampu menghadirkan otomatisasi proses produksi.

Kini di abad 21, kita mulai memasuki revolusi industri keempat yang masih berjalan dan terus berkembang dengan hamparan kemungkinan yang sangat terbuka.

Perkembangan teknologi, sebagai bagian dari evolusi peradaban, selalu mendatangkan potensi persoalan etis.

Para pakar sudah mengidentifikasi beberapa kemungkinan buruk yang muncul sebagai dampak dari perkembangan Industri 4.0, antara lain peningkatan pengangguran akibat robotisasi pekerjaan, kesenjangan penghasilan akibat disparitas penguasaan teknologi, penyebaran informasi (termasuk berita palsu dan ujaran kebencian) yang tak terkendali dan sebagainya.

Bahkan, baru-baru ini pendiri sekaligus CEO perusahaan Tesla dan SpaceX, Elon Musk, menganggap bahwa teknologi digital, khususnya artificial intelligence, bisa berpotensi menjadi ancaman terbesar umat manusia.


 

Keseimbangan baru
Hal yang terburuk, Musk mengatakan bahwa kompetisi di antara negara-negara superior dalam upaya pengembangan artificial-intelligence, bisa berpotensi memicu perang dunia ketiga.

“Sekali dikembangkan dan berada di tangan yang salah, besar kemungkinan artificial intelligence akan menjadi senjata berbahaya yang mematikan. Artificial intelligence bisa menjadi senjata teror yang digunakan untuk melawan orang-orang yang tak tahu apa-apa, juga bisa menjadi senjata untuk meretas dengan cara-cara yang tidak dibenarkan,” imbuh Musk seperti dilansir The Guardian.

Tak bisa dipungkiri, kekhawatiran etis dan risiko kemanusiaan seperti di atas selalu hadir dalam setiap fase perkembangan peradaban.

Pada peralihan abad 18–19, perkembangan populasi dunia telah mengkhawatirkan seorang ekonom berkebangsaan Inggris, yakni Thomas Malthus.

Dalam buku klasiknya berjudul "An Essay on the Principle of Population", Malthus mengatakan bahwa pertumbuhan jumlah penduduk bergerak mengikuti deret ukur, sementara pertambahan volume bahan makanan bergerak menuruti deret hitung.

Artinya, jumlah populasi bertambah jauh lebih cepat daripada produktivitas pangan yang bisa berakibat kepada kelangkaan pangan dan kelaparan penduduk dunia. Dalam perjalanannya, kekhawatiran Malthus tak pernah sungguh-sungguh terjadi.

Sama halnya pula, pada peralihan abad 20-21, dunia juga dihebohkan dengan perkembangan bioteknologi, semisal kloning dan stem-cell (sel punca).

Selain mengamini manfaat yang dihadirkannya, beberapa pakar mengkhawatirkan dampak buruk dari perkembangan teknologi rekayasa biologis tersebut, semisal proses penciptaan (prokreasi) manusia secara tak bertanggung-jawab, penggandaan makhluk hidup (termasuk manusia) untuk tujuan jahat, serta kemungkinan perdagangan organ tubuh manusia secara komersial.

Lagi-lagi, dalam perjalanannya, kekhawatiran ini pun tak pernah sepenuhnya terwujud.

Kehidupan semesta dan peradaban manusia tampak memiliki elastisitasnya sendiri, yang mampu menyesuaikan diri dengan dinamika dan perkembangan zaman.

Peradaban manusia akan bergerak ke arah ekuilibrium, sebuah ”keseimbangan baru” yang memungkinkan makhluk-makhluk di dalamnya tetap bertahan dan melanjutkan kehidupan.

Mari kita lihat dan uji kembali elastisitas-peradaban terkini, di tengah arus deras perkembangan teknologi digital dan Industri 4.0.



TERBARU

×