kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Jebakan kebahagiaan

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 20 November 2017 / 14:56 WIB
Jebakan kebahagiaan

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: mesti.sinaga

Seorang eksekutif perusahaan besar pernah digoda oleh rekannya. Begini ujar sang teman, “elu kaya dan jadi boss, tapi wajahnya koq suntuk aja sih?!”.

Sesungguhnya, sang teman sedang tak sepenuhnya bercanda, karena apa yang diutarakan memang mengandung kebenaran.

Eksekutif yang dimaksud adalah sosok yang berpendidikan tinggi, cerdas, pekerja keras, dan tangguh menapaki tangga karier perusahaan hingga menduduki posisi puncak.

Tentunya, dengan kualifikasi seperti ini ia memiliki gaji yang besar, fasilitas mewah dan kartu nama penuh gengsi.

Tak lupa pula, ia juga memiliki keluarga yang cukup sempurna. Menikah dengan istri yang sangat dicintai, sekaligus juga memiliki dua orang anak yang amat disayangi.

Dengan demikian, di atas kertas ia memiliki segala sesuatu yang diinginkannya (dan juga diidamkan banyak orang), yakni : jabatan yang tinggi, penghasilan besar dan fasilitas mewah, serta keluarga yang ideal.

Namun, pada kenyataannya ia seringkali menunjukkan perasaan tak bahagia. Di rumah tampak begitu banyak ketegangan, sama halnya di kantor merasakan banyak ketidaknyamanan.

Ia gampang mengeluh dan gusar terhadap kondisi di sekitar, mulai dari urusan sikap karyawan yang tak profesional, proses kerja yang berbelit-belit, hingga politik organisasi yang (katanya) kejam. Tak heran, jika wajahnya terlihat suntuk.

Walaupun merasa jumud, kesal dan sinis terhadap keadaan sekitar, sang eksekutif tampak acuh belaka. Ia tetap melakukan aktivitas sesuai dengan kebiasaannya, yakni bekerja keras, pulang larut malam, dan selalu gagah berani menyambut semua risiko pekerjaan.

Isi pikirannya hanya satu, “sepanjang saya berhasil mencapai target, urusan lain jadi tak penting! Apakah saya senang atau suntuk, bukan hal yang perlu diseriusi. Apakah orang lain terganggu atau tidak, sama sekali bukan perkara!”.

Annie Mckee, pengajar senior di University of Pennsylvania Graduate School of Education dan penulis buku How to Be Happy at Work (2017), menyebut fenomena yang dialami oleh eksekutif tersebut sebagai happiness trap atau jebakan kebahagiaan.

Banyak studi yang menunjukkan bahwa gejala tekanan dan depresi kerja semakin meningkat dewasa ini.

Bahkan pada awal tahun 2017, American Psychological Association mensinyalir bahwa pekerja-pekerja Amerika saat ini jauh lebih stressful (tertekan) dibandingkan masa-masa sebelumnya.

Entah itu dipicu oleh faktor politik domestik, perubahan yang bergerak cepat, dan juga ketidakpastian yang melanda dunia luas.

Namun, menurut Mckee, banyak pekerja yang kehilangan “rasa bahagia”, bukan melulu karena faktor eksternal yang melingkupinya.

Pengalaman Mckee selama lebih dari 30 tahun menjadi coach pengembangan karier bagi para pemimpin organisasi (baik bisnis, pemerintah dan juga NGO) di seluruh dunia, membuatnya berkesimpulan bahwa ketidakbahagiaan profesional acapkali bersumber pada diri mereka sendiri, yaitu “jebakan kebahagiaan”.

Jebakan tersebut pada dasarnya berupa pola pikir dan cara kerja yang destruktif, yang membuat mereka merasa buntu, tak bahagia dan pada akhirnya menggerus kesuksesan di masa mendatang.

Ada tiga jebakan kebahagiaan yang paling lazim ditemukan dalam dunia kerja, yang sekilas tampak baik dan produktif. Namun, jika kondisinya beranjak ekstrem, akan berubah menjadi sesuatu yang merampas kebahagiaan hidup seseorang.

Pertama, jebakan “ambisi”. Seseorang pasti memerlukan motivasi untuk menunjukkan kinerja terbaik, agar setiap target kerjanya dapat tercapai dan peningkatan karier pribadinya bisa diraih. Ambisi ini baik dan sah adanya.

Namun, tatkala ambisi tersebut “bertemu” dengan dinamika persaingan yang ketat dan keinginan memenangkan (winning) kompetisi yang kuat, maka seseorang beresiko untuk menciptakan masalah bagi dirinya sendiri.

Keinginan untuk “menang” yang ekstrem (winning at all cost), menggoda orang untuk bisa melakukan apa pun, sekalipun harus mengorbankan kebahagiaan diri sendiri dan kenyamanan orang-orang di sekitar.


 

Pekerjaan melimpah
Kedua, jebakan “keharusan”. Banyak sekali norma-norma di lingkungan organisasi yang menuntut seseorang untuk patuh dan bersikap konformis.

Akibatnya, orang terbiasa untuk bekerja dengan prinsip “keharusan”, daripada “keinginan”. Orang melakukan suatu tugas karena ia “harus” melakukannya, bukan karena “ingin” melakukannya.

Prinsip “keharusan” memang membuat kita menjadi seorang pekerja yang bertanggung-jawab, yang memandang tugas pekerjaan sebagai sebuah amanah organisasi, bukannya sekadar kesukaan pribadi.

Namun, lagi-lagi, jika paradigma ‘keharusan” ini menjadi ekstrem, seseorang memerankan dirinya tak lebih dari sekadar robot organisasi yang tak berjiwa. Dalam sukma yang kosong, mana ada yang namanya rasa, termasuk juga rasa bahagia?

Terakhir adalah jebakan “pekerjaan yang melimpah ruah” (overwork). Abad 21 telah menghadirkan lingkungan kerja yang always on alias “selalu siaga”.

Karena persaingan yang begitu intens dan kecanggihan teknologi yang bisa menghubungkan segenap manusia setiap saat, orang menjadi keblebekan pekerjaan.

Akibatnya jelas, waktu untuk keluarga, saudara, teman, dan diri sendiri menjadi berkurang drastis.

Padahal, hukum alam sudah mengatur bahwa sebagai makhluk sosial, kita perlu waktu yang memadai untuk berinteraksi dengan keluarga dan lingkungan di sekitar.

Dan, kita juga butuh me time, waktu bagi diri sendiri untuk melakukan refleksi dan menimba kembali energi hidup yang menggairahkan.
Apakah ada salah satu jebakan kebahagiaan yang saat ini bermukim di benak kita? Mari kita renungkan.

 



TERBARU

×