kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Pikiran yang terbuka

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 05 Maret 2018 / 16:12 WIB
Pikiran yang terbuka

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: mesti.sinaga

Seorang teman mengeluhkan postur tubuhnya yang bongsor, namun agak menggelayut. Selain tak enak dilihat, ia juga mulai merasakan dampaknya terhadap kebugaran fisik.

Berbagai risiko kesehatan, dari urusan kolesterol yang tinggi, gula darah yang melewati batas, dan penyakit degeneratif lain mengintip.

Cukup sering dia mengeluhkan leher yang pegal atau badan gampang lemas. Pada saat tertentu, ia menyadari bahwa kondisi berat badannya sudah pada tahapan “siaga 2”, yang berarti alarm peringatan serius..

Berangkat dari kesadaran tersebut, beberapa kali sudah ia membangun tekad untuk berolahraga dan melakukan diet. Ia sadar sesadar-sadarnya bahwa itu adalah cara terbaik (kalau bukan satu-satunya cara) untuk meningkatkan kesehatan tubuh.

Dengan gagah berani ia mengumpulkan niat, dengan percaya diri juga ia membatalkan agenda olahraganya. Dengan semangat ia mempersiapkan rencana diet, dengan santai pula ia melupakannya. Ringkas cerita, ia tak bisa berhasil mengayunkan langkah perubahan yang nyata.

Menyimak kisah sang teman, saya teringat cerita tentang 20 ekor kodok yang bertengger di bibir kolam.

Pembaca, bila Anda dihadapkan dengan pertanyaan, “Jika 17 dari 20 ekor kodok tersebut memutuskan untuk meloncat ke dalam kolam, berapa ekor kah yang tersisa bercokol di pinggir kolam?”.

Secara matematis, kita akan cenderung menjawab 3 ekor, karena itulah hasil pengurangan dari 20-17.

Namun, apa yang terjadi? Ternyata, masih ada 20 ekor kodok yang berada di bibir kolam. Lho, kok bisa? Ya bisa, karena ke 17 ekor kodok tersebut baru “memutuskan” untuk terjun ke kolam, tapi mereka sama sekali belum “melakukan”nya.

Sang kodok tak hanya sudah membangun niat, tapi bahkan sudah memutuskan untuk melompat ke dalam kolam. Namun, apa daya, walaupun sudah diputuskan, ternyata ia tak mampu melakukannya.

Cerita sang kodok ini membuat saya memaklumi “kegagalan” teman di atas untuk mulai berolahraga dan menjalani diet.

Jika sang teman baru mencapai tahapan “membangun niat”, si kodok bahkan sudah sampai pada tahapan “mengambil keputusan”. Itu pun tak berhasil membuatnya untuk melangkah dan mengambil tindakan.

Berhadapan dengan kenyataan ini, umumnya kita akan menuding ketidakteguhan motivasi sebagai biang kerok kegagalan perubahan.

Motivasi yang tak kuat itu muncul bisa dikarenakan ketiadaan sense of urgency (perasaan kegentingan), kurangnya insentif, dan juga sikap pribadi yang tak disiplin.


 

Ketidakmampuan

Namun, ternyata persoalannya tidak sesederhana itu. Dalam bukunya berjudul Immunity to Change (2009), Robert Kegan dan Lisa Lahey menjelaskan bahwa problem tersebut muncul bukan dikarenakan ketidakmauan, tetapi lebih disebabkan oleh ketidakmampuan.

Mereka menyebut ketidakmampuan ini sebagai immunity to change atawa “kekebalan untuk berubah”, yakni sebuah mekanisme pertahanan-diri (self defense mechanism) paradoksal yang melindungi orang dari perubahan.

Dikatakan paradoks, karena perubahan laksana benda asing yang dibutuhkan sekaligus juga dihindari. Terdengar aneh, namun sesungguhnya tidak.

Mari kita bayangkan seorang pasien yang menderita gagal ginjal, yang hanya bisa dipulihkan dengan transplantasi ginjal.

Sekalipun orang ini sungguh-sungguh membutuhkannya untuk menyambung hidup, ginjal orang lain yang ditransplantasikan tetaplah benda asing yang secara alamiah akan ditolak oleh fisiologi tubuhnya.

Oleh karenanya, ada sejumlah kriteria kecocokan antara pendonor dan penerima donor untuk memastikan bahwa “penolakan” tak terjadi; sebaliknya, terjadi penerimaan dan penyesuaian diri yang lebih cepat.

Pemahaman terhadap fisiologi tubuh menjadi hal mendasar untuk memastikan transplantasi organ berjalan baik dan tak mengalami penolakan.

Bagi Kegan dan Lahey, prinsip yang sama juga berlaku jika seorang individu hendak melakukan tindakan perubahan. Kita juga harus memahami fisiologi pikiran seseorang, sebelum memilih bentuk intervensi perubahan yang tepat.

Intervensi diet yang dilakukan dengan mengutamakan makanan sehat, namun tidak enak dan nikmat, jelas tak akan sesuai dengan fisiologi (pola) pikiran yang percaya bahwa makanan yang masuk ke mulut haruslah enak dan nikmat.

Ketidaksesuaian inilah yang mengakibatkan banyak agenda perubahan yang berujung pada kegagalan.

Lebih jauh, fisiologi pikiran tersebut seringkali beroperasi secara diam-diam di aras bawah sadar seseorang. Akibatnya, sering orang gagal melakukan perubahan, tanpa mendapatkan pencerahan tentang sebabnya.

Jujur terhadap isi pikiran sendiri (dengan kebaikan dan keburukannya), dan membuka diri untuk memperbarui, memperluas dan bahkan mengubahnya, adalah kunci untuk melakukan perubahan yang berhasil.

Kegan dan Lahey menyebut pola pikir yang terbuka ini sebagai self-transforming mind. Karena, perubahan perilaku yang sukses selalu dimulai dari perubahan dalam pikiran.



TERBARU

×