kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Bekerja dalam diam

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 09 April 2018 / 17:51 WIB
Bekerja dalam diam

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: mesti.sinaga

Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, baru saja selesai direnovasi, sebagai bagian dari persiapan menjelang perhelatan akbar Asian Games, 18 Agustus sampai 2 September 2018.

Menelan biaya yang cukup besar, stadion tersebut akhirnya berubah wujud menjadi stadion yang dibanggakan oleh semua pihak, baik pemerintah, juga khalayak banyak. Megah, gagah, dan juga mewah. Bahkan diklaim sebagai stadion dengan pencahayaan paling terang di Asia.

Namun, beberapa lama kemudian, usai penyelenggaraan final pertandingan sepak bola Piala Presiden, 17 Februari 2017, ada bagian stadion yang dirusak oleh sekelompok masa yang tak bisa masuk stadion menyaksikan pertandingan.

Stadion yang sudah dibangun (ulang) dengan baik, dengan mudah dirusak begitu saja oleh orang-orang yang tak bertanggung-jawab.

Kejadian itu mengingatkan saya pada pepatah tua, “membangun itu sulit, namun... merawat (apa yang sudah dibangun) jauh lebih sulit lagi”.

Pepatah itu tak hanya berlaku dalam konteks perorangan, namun juga terjadi di aras organisasi. Banyak organisasi yang begitu heboh saat dibentuk, namun dengan berjalannya waktu, tak banyak di antaranya yang bisa bertahan, apalagi bertumbuh baik.

Sama halnya, di dalam sebuah organisasi, kita sering melihat begitu banyak inisiatif/project yang diluncurkan, namun seiring dengan berlalunya waktu, tak banyak yang betul-betul dieksekusi secara tuntas.

Biasanya, kita ramai dan sibuk mempersiapkan acara kick-off (peresmian awal) sebuah inisiatif, namun acapkali kita juga yang diam-diam membiarkan agenda project tersebut mangkrak alias berhenti begitu saja tanpa jejak.

Kita pasti mahfum dengan dinamika perjalanan suatu inisiatif, project atau bahkan juga organisasi, yang seringkali bergerak seturut huruf “S”.

Disebut pula dengan istilah “kurva S” atawa S-curve. Mengikuti gerak huruf S, sebuah agenda selalu dimulai dengan antusiasme yang besar.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan, bila kick-off inisiatif selalu dipersiapkan semarak, meriah dan penuh semangat.

Seringkali kick-off diisi dengan seremoni pembukaan, gunting pita ataupun pidato pengantar yang penuh semangat.

Untuk mudahnya, ingat saja kembali upacara peresmian stadion GBK yang dilakukan meriah dan disaksikan ribuan orang di bangku stadion dan jutaan mata di layar kaca.


 

Namun, apa yang terjadi setelah kick-off meriah dilangsungkan? Lagi-lagi, mengikuti gerak huruf S, pelan-pelan hype atawa antusiasme pun menurun, hingga suatu saat bergerak melandai rata. Ini adalah titik paling krusial dalam siklus huruf “S”.

Jika garisnya semata bergerak merata, maka suatu saat akan menurun dan pelan-pelan menghilang begitu saja.

Fenomena ini disebut pula sebagai execution-inertia alias “kelembaman eksekusi”. Sebaliknya, jika bisa bangkit bergerak ke atas, maka kita akan menemukan “momentum” pertumbuhan yang memungkinkan sebuah inisiatif bergerak akseleratif.

Sikap fokus

Untuk menghindari kemungkinan kelembaman-eksekusi, dalam bukunya The 4 Disciplines of Execution, (2012) Chris McChesney, Sean Covey dan Jim Huling, mengingatkan empat disiplin yang harus dimiliki sebuah organisasi agar eksekusi rencana kerja dapat berlangsung tajam.

Disiplin pertama dan juga utama, adalah sikap fokus. Fokus membuat seseorang mengerahkan seluruh atensi dan energinya untuk melakukan apa yang sudah dipersiapkan.

Fokus juga membuat seseorang “setia” terhadap apa yang sudah dimulainya, tak mudah terdistraksi dengan hal-hal baru yang muncul belakangan.

Seperti penggalan lagu dangdut yang populer, fokus juga membuat seseorang sekaligus “bisa memulai, juga mengakhiri”.
Beberapa saat yang lalu, saya bertemu dengan seorang ibu rumah tangga yang rumahnya dihiasi begitu banyak tanaman asri.

Di antara rumah-rumah di sekitarnya yang relatif gersang dan dikelilingi tembok-tembok megah, rumah ini tampak berbeda sendiri.

Walaupun bukan yang terbesar dan termegah, namun rumah ini tampak stand out dan memancarkan kesejukan yang luar biasa.

Tetangga-tetangga di sekitar mengenali ibu di atas sebagai “perawat tanaman yang setia”.

Rumah-rumah di sekelilingnya boleh saja memiliki jenis tanaman yang bagus dan dalam pot yang besar, namun hasilnya toh tak seasri dan sesejuk tanaman sederhana dalam pot-pot kecil yang ada di rumah si ibu perawat tanaman tersebut.

Ibu itu mengingatkan kita, sekalipun memulai dengan inisiatif-inisiatif yang kecil, namun jika ditekuni dengan fokus, hasilnya tetap akan luar biasa.

Daripada kita memulai dengan kick-off yang besar nan heboh, namun jika tak dirawat dengan setia, toh tak akan menghasilkan apa-apa.

Kata guru saya, jangan berharap untuk bisa menumbuhkan atawa membesarkan, kalau tak bisa merawat apa yang sudah dimulai. Dan, seperti si ibu, pekerjaan merawat biasanya adalah “pekerjaan dalam diam”. The works in silence.



TERBARU

×