kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Inter-being

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 23 April 2018 / 17:59 WIB
Inter-being

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: mesti.sinaga

Seorang filantropis senior pernah mengajukan pertanyaan yang menggelitik saya. Begini katanya, “Saat melihat seorang anak yang mengetuk kaca jendela mobil kita sambil meminta uang recehan, apakah kita ikut bertanggungjawab?”

Demikian juga, “Saat melihat seorang ibu sederhana yang setiap hari bekerja memotong rumput di rumah besar majikan, namun tak kunjung bisa memperbaiki kehidupan ekonominya, apakah kita juga perlu memikirkannya?”

Atas pertanyaan tersebut, sekilas mungkin kita akan menjawab bahwa, “Ya..., memang demikian nasib kehidupan seseorang.

Ada yang bernasib baik, ada juga yang tidak beruntung. Ada yang dikaruniai hidup yang senang dan berkelimpahan, ada yang ditakdirkan hidup susah dan berkekurangan.”

Bukankah kita sering diingatkan bahwa hakekat kehidupan manusia itu individualistik? Artinya, setiap orang mempunyai kisah, perjuangan, kesulitan, pencapaian dan nasibnya masing-masing, yang berbeda antara yang satu dengan lainnya.

Dengan demikian, jalanilah garis hidupnya sendiri-sendiri, tanpa perlu memikirkan lingkungan dan orang-orang yang ada di sekitar.

Sepanjang tidak saling merugikan orang lain, itu sudah cukup!

Sang filantropis senior di atas pun mengakui bahwa tatkala masih muda, beliau juga berpikir seperti layaknya kebanyakan orang. “Hidupku adalah hidupku, dan hidupmu adalah hidupmu. Kita jalani bersama-sama sebaik-baiknya. Semaksimal mungkin, tak saling mengganggu”.

Namun, dengan bertambahnya usia, ia mengakui bahwa hidup manusia tak semestinya bersifat individualistik.

“Sedikit banyak, kita pun musti ikut bertanggungjawab dan ambil bagian dalam kehidupan si anak miskin yang mengetuk kaca jendela mobil dan juga si ibu sederhana pemotong rumput yang tak kunjung bisa hidup cukup,” kata dia.

Cerita di atas mengingatkan saya pada konsepsi inter-being yang digagas oleh mahaguru Zen-Buddhism dunia, Thich Nhat Hanh.

Konsepsi inter-being di sini dimaksudkan sebagai keterhubungan antara satu makhluk dengan makhluk lainnya, termasuk juga antara manusia yang satu dengan yang lainnya.

Nhat Hanh mengamini studi yang dilakukan oleh ahli biologi Lewis Thomas. Studi Thomas menyimpulkan bahwa tubuh manusia pada dasarnya “dihuni dan dipenuhi” oleh organisme-organisme kecil “non-manusia” yang jumlahnya tak terhingga.

Tanpa organisme-organisme tersebut, manusia tak dapat menggerakkan otot, menjentikkan jari, dan juga mengolah pikiran.


 

Menemukan belarasa

Tubuh manusia laksana komunitas sel, di mana sel-sel non-manusia (non-human cell) jumlahnya jauh lebih banyak daripada sel manusia (human-cell). Tanpa sel-sel non-manusia, seseorang tak bisa berpikir, berucap, dan juga merasa.

Singkat cerita, bagi Nhat Hanh, tak ada makhluk hidup yang bersifat soliter alias solitary-being. Makhluk (manusia) yang satu “terhubung” dengan makhluk (manusia) yang lain, yang disebutnya sebagai inter-being.

Suatu hari di tahun 1970-an, saat sedang bekerja untuk The Vietnamese Buddhist Peace Delegation di Paris, sebuah kisah sedih menghampiri benak Nhat Hanh.

Banyak orang pada saat itu melarikan diri dari Vietnam dengan perahu (kecil); sebuah perjalanan yang sungguh membahayakan.

Bukan hanya bahaya karena harus menerjang badai dan tidak tersedianya bahan bakar, makanan serta air bersih, namun terutama juga risiko penyerangan oleh bajak laut yang banyak berkeliaran di sepanjang pesisir Thailand.

Cerita tragis pun akhirnya terdengar. Para bajak laut menyerang ke dalam perahu untuk merampas barang-barang berharga dan menculik seorang gadis cilik berusia 11 tahun.

Tatkala ayah sang gadis hendak membantu, tanpa ampun ia dilempar ke luar perahu oleh kawanan bajak laut. Melihat perlakuan kejam itu, sang gadis cilik ikut melompat ke laut. Ayah dan anak pun mati tenggelam di samudra luas.

Berita menyesakkan itu membuat Nhat Hanh tak sanggup tidur nyenyak. Perasaan sedih, marah, tak berdaya, bercampur baur tak karuan.

Hanya saja, sebagai seorang biksu yang terlatih dengan praksis meditasi, Nhat Hanh berusaha menyelami dan menyusuri “dasar” dari peristiwa tersebut.

Dalam meditasinya, ia membayangkan dirinya sebagai seorang lelaki kecil yang lahir dari keluarga miskin di Thailand.

Dari generasi ke generasi, para leluhur hidup di dalam kemiskinan, tanpa mendapatkan pendidikan dan perhatian yang berarti.

Sebaliknya, justru “hidup serba keras” yang ditemui selama ini. Hingga..., suatu saat seseorang mengajak pergi melaut dan mencoba keberuntungan sebagai “bajak laut”, sebagai upaya untuk memutus rantai kemiskinan keluarga.

Di bawah tekanan para sesama pembajak, dan ketiadaan patroli pantai yang bertugas, ia pun memberanikan diri untuk menculik seorang gadis cilik.

Lewat pencerahan meditasinya, Nhat Hanh merasa terhubung (inter-be) dengan sang bajak laut. Alih-alih menjadi geram dan marah, Nhat Hanh justru merasakan belarasa (compassion) atas peristiwa sedih di atas.

Perasaan keterhubungan (inter-being) membuat manusia hidup tak melulu bagi dirinya sendiri, namun juga bagi manusia dan makhluk lain di sekitarnya.



TERBARU

×