kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Budaya organisasi

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 07 Mei 2018 / 16:01 WIB
Budaya organisasi

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: mesti.sinaga

Beberapa tahun yang lalu, di sejumlah wilayah di Indonesia, terjadi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh para pengemudi taksi konvensional terhadap kehadiran taksi online.

Wajar saja, akibat kehadiran taksi online, pendapatan mereka berkurang drastis.

Bagaimana tidak, konsumen ditawari pilihan taksi dengan tarif yang jauh lebih murah, terkadang juga dengan fasilitas kendaraan yang lebih anyar.

Saat ini, situasi kompetisi antara dua kelompok taksi tersebut tampak mulai mereda. Perlahan-lahan, ada keseimbangan (equilibrium) baru di antara mereka.

Taksi online mulai mengalami pertumbuhan yang cenderung melamban, dan pertambahan jumlah kendaraan pun mendekati titik jenuh.

Demikian juga, taksi konvensional juga sudah mulai mendapatkan kembali sejumlah konsumen, yang sebelumnya berpaling ke taksi online.

Beberapa konsumen taksi konvensional (khususnya dari merek yang sangat reputable) yang pernah saya wawancarai mengatakan bahwa mereka “kembali” kepada taksi plat kuning tersebut karena merasakan “budaya pelayanan” yang berbeda.

Walaupun membayar harga yang lebih mahal, tapi mereka merasakan sopir yang lebih ramah, mengerti jalan dan merawat kendaraannya dengan baik.

“Budaya pelayanan” tersebut relatif mereka dapatkan dari para pengemudi taksi konvensional (yang reputable) tersebut.

Lain halnya dengan taksi online, terkadang kita menemukan pelayanan yang baik, di lain waktu kita berhadapan dengan sopir yang tak tahu jalan, keras kepala dan kendaraan yang tak terawat.

Terakhir, bahkan ada kasus penumpang yang nyawanya dihabisi oleh pengemudi taksi online.

Inkonsistensi kualitas pelayanan tersebut yang membuat beberapa konsumen merasa malas untuk “berspekulasi”, dan merasa lebih nyaman untuk memanfaatkan taksi konvensional, sekalipun membayar sedikit lebih mahal.

Atas ulasan di atas, seorang teman pernah berujar, “seringkali yang menyelamatkan perusahaan dari kondisi kompetisi yang begitu sengit, bukanlah uang ataupun teknologi. Melainkan... budaya organisasi”.

Hill & Jones dalam buku tua, Strategic Management (2001) mendefinisikan budaya perusahaan sebagai sekumpulan nilai dan norma yang dihayati oleh orang-orang di dalam organisasi, yang ikut menentukan perilaku dan cara kerja mereka.

Begitu solid dan dalamnya internalisasi nilai-nilai perusahaan ke dalam sanubari pekerja, budaya perusahaan bisa menjelma menjadi sebuah tradisi yang kuat.

Tradisi yang kuat tersebut pada gilirannya akan menghadirkan ikatan emosional (bahkan spiritual) yang dalam bagi seseorang, untuk ikut terlibat dengan setiap arahan organisasi.

Sebagai ilustrasi, kita ambil contoh umat Islam yang merayakan Lebaran. Sekalipun tak ada kewajiban formal untuk menjalaninya (yang wajib bagi orang Islam adalah puasa Ramadhan, bukan perayaan Lebarannya), hari lebaran pasti dirayakan pemeluk agama Islam dengan meriah, karena tradisi yang terbangun sedemikian kuat.

Elemen budaya memang tak mendatangkan manfaat langsung bagi sebuah perusahaan. Berbeda dengan kegiatan penjualan yang seketika juga mendatangkan revenue, ataupun aktivitas produksi yang menghasilkan barang dan jasa layanan (product and service), output dari budaya perusahaan tak dapat dinikmati secara instan.


 

Penentu sukses

Namun demikian, elemen budaya memainkan peran yang begitu vital bagi sebuah organisasi, bahkan juga sebuah bangsa secara jangka panjang.

Di tingkat organisasi, hasil studi Arie de Geus di dalam buku The Living Company (1997) secara jelas menunjukkan bahwa salah satu faktor yang menentukan kelangsungan hidup sebuah perusahaan adalah budaya perusahaan.

Budaya perusahaan akan mengukuhkan identitas perusahaan, sekaligus juga meningkatkan kohesivitas atau semangat kebersamaan karyawan-karyawan di dalamnya.

Budaya perusahaan adalah perekat (glue) yang mempertautkan berbagai fungsi organisasi dan individu yang berbeda-beda, agar tetap bergerak padu ke tujuan yang sama.

Studi yang dilakukan oleh Prof. Dr. Djokosantoso Moeljono (dalam paper Corporate Culture : Masrshalling The Intangibles, 2011), mencoba menelusuri pengaruh budaya perusahaan terhadap kinerja komersialnya secara jangka panjang, yang terpantul dalam harga saham perusahaan.

Ternyata, hasilnya cukup menarik. Dengan asumsi bahwa teknologi dan informasi bukan lagi sebuah competitive advantage yang dominan, Djokosantoso berkesimpulan bahwa di samping masalah finansial, salah satu faktor yang membedakan perusahaan sukses dan tidak sukses adalah keunggulan budaya perusahaannya.

Di tingkat bangsa, Jepang adalah salah contoh terbaik dalam perkara budaya. Kita masih ingat, walau tumbuh jadi negara modern, Jepang tetap menghidupi budaya bangsanya secara kuat.

Budaya yang kuat ini selain menghadirkan identitas yang solid, juga membangun ketahanan (resiliensi) Jepang sebagai sebuah bangsa.

Boleh saja bencana alam ataupun musibah perang menghampiri negeri tersebut, namun mereka tetap kokoh berdiri menyongsong terbitnya matahari.



TERBARU

×