kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Purpose

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 25 Juni 2018 / 19:39 WIB
Purpose

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: mesti.sinaga

Kehidupan kita seperti buku. Judul buku adalah nama kita. Daftar isi adalah perjalanan-perjalanan hidup penting yang kita lewati.

Kata pengantar adalah perkenalan diri kita pertama kali kepada dunia. Halaman-halaman selanjutnya adalah catatan sehari-hari dari kegiatan, usaha, kerja keras, kesuksesan, kegembiraan, kegagalan, keputusasaan, juga tawa dan tangis.

Hari demi hari, jam demi jam, bahkan terkadang menit per menit, peristiwa hidup kita dicatat dalam buku tersebut.

Tatkala sampai di halaman terakhir, biarlah kita dapat menuliskan kata “tamat” dengan penuh syukur dan senyum, karena sudah menjalani hidup dengan sepenuh-penuhnya dan juga memenangi segenap pergulatan di dalamnya dengan sebaik-baiknya.

Begitu pula, orang-orang yang membacanya akan berkata bahwa ini adalah buku tentang kehidupan seorang manusia yang luar biasa, sarat makna dan penuh pencerahan. Sebuah kehidupan yang sungguh bermakna (a meaningful life).

Kalimat di atas (yang saya peroleh dari seorang sahabat diskusi) sungguh inspiratif, walaupun menyisakan pertanyaan bagaimana cara menulis buku kehidupan seperti itu?

Pembaca, ada sebuah kisah menarik. Seorang anak muda berhenti di perempatan jalan.

Ia bertanya kepada seorang tua di dekatnya, ”Ke mana jalan ini akan membawa saya?” Si orang tua balik bertanya, ”Ke mana kamu akan pergi, anak muda?” Si pemuda menjawab, ”Saya tidak tahu.”

Lalu si orang tua berkata, ”Kalau begitu, ambil jalan yang mana saja, toh tidak ada bedanya bagimu, kan?”

Inilah kebenarannya. Jika kita tidak tahu ke mana hendak pergi, maka jalan manapun yang dipilih menjadi tidak relevan.

Stephen Covey dalam buku larisnya, 7 Habits of Highly Effective People (1989), menyebutkan bahwa manusia yang efektif memiliki kebiasaan begin with the end in mind, yang berarti memulai dengan pengertian yang jelas tentang tujuan akhir.

Dengan kata lain, kita harus tahu ke mana kita akan pergi, sehingga bisa menentukan pilihan jalan yang tepat, yang akan mengantar kita kepada tujuan.

Covey percaya bahwa pada dasarnya penciptaan secara fisik (physical creation) yang efektif diawali dengan penciptaan secara mental (mental creation) terlebih dahulu.

Sebagai ilustrasi, ketika kita ingin membangun rumah, maka “gambaran” mengenai bentuk rumah tersebut terjadi terlebih dahulu dalam mental (imajinasi) kita.

Kita membayangkan letak kamar tidur, kamar mandi, ruang tamu, dapur, meja makan, televisi, dan sebagainya. Semua bayangan itu terjadi sebelum kita mulai membangun secara fisik.

Jika kita tidak melakukannya, sangat mungkin proses pembangunan fisik rumah tak akan berjalan baik.

Ada banyak bongkar pasang yang sangat tidak efisien, bahkan juga hasil akhir yang sama sekali berbeda dengan harapan.

Hal yang sama juga berlaku untuk perkara a meaningful life. Sebelum mewujudkan kehidupan pribadi secara nyata (penciptaan fisik), kita juga perlu menuliskan naskah meaningful-life di dalam pikiran kita (penciptaan mental).

Semakin spesifik kita bisa menuliskan naskah meaningful-life pribadi, semakin kuat pula pikiran kita akan mewujudkannya.

Jika saat ini bayangan kebermaknaan itu masih kabur, sebaiknya berhenti sejenak untuk memikirkan dan merumuskannya secara jelas.

Mengapa? Karena, kita tak akan bisa mantap menempuh sebuah perjalanan hidup dengan bekal pandangan yang kabur dan pikiran tak tentu arah.


 

Mimpi kita

Penulis hebat, Hellen Keller, mengalami kebutaan sejak usia 18 bulan, karena terserang penyakit scarlet fever.

Kisah perjuangan hidupnya yang ditulis dalam buku, ”The Story of My Life” telah menginspirasi banyak orang, lintas generasi dan zaman.

Suatu saat, Hellen Keller ditanya, ”Apakah hal yang lebih buruk dari pada dilahirkan buta?” Ia menjawab, ”Yang lebih buruk adalah bisa melihat, tetapi tidak memiliki tujuan.”

Dengan penuh semangat, penemu Micky Mouse dkk, Walt Disney pun pernah berujar, ”Jika kita bisa memimpikannya, maka kita pasti bisa melakukan dan mencapainya.”

Mimpi kita adalah tujuan kita, yang akan mengarahkan, menuntun, bahkan juga menggerakkan setiap langkah kaki kita.

Begitu pentingnya purpose dalam kehidupan manusia, Steve Jobs rajin melontarkan pertanyaan berikut kepada dirinya sendiri, “If today were the last day of my life, would I want to do what I am about to do today?”.

Jawaban atas pertanyaan ini begitu penting, karena pada dasarnya waktu hidup manusia sangatlah terbatas.

Oleh karenanya, penting untuk memastikan bahwa apa yang kita lakukan hari demi hari, sungguh-sungguh semakin mendekatkan diri pada tujuan hidup.

Kata guru saya, tak ada cara lain yang lebih baik untuk mensyukuri anugerah kehidupan yang diberikan Sang Pencipta, selain bekerja sungguh-sungguh dan tekun mewujudkan tujuan hidup masing-masing. ?



TERBARU

×