kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Pemimpin itu membaur

oleh Ekuslie Goestiandi - Praktisi di korporat, pengajar


Senin, 02 Juli 2018 / 17:02 WIB
Pemimpin itu membaur

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: mesti.sinaga

Bulan depan kita akan menjalani ajang pemilihan kepala daerah, dan tahun depan akan ada hajatan pemilihan presiden dan anggota legislatif.

Sekarang ini, para kandidat yang merasa dirinya pantas menjadi pemimpin-pemimpin Indonesia di masa depan, sudah giat mengkampanyekan dirinya.

Partai politik dan kelompok pendukung juga tak ragu mengelus jagoannya masing-masing, menjual “kecap nomor satu”.

Suka tidak suka, lebih banyak orang yang melihat posisi kepemimpinan sebagai sebuah peluang, daripada amanah.

Sebagai peluang, kepemimpinan harus diperjuangkan dan diperebutkan, bahkan terkadang dengan mengorbankan nilai moral dan aturan hukum yang berlaku.

Bermacam siasat ditempuh, agar dapat tampil sebagai pemenang. Demikian pula, slogan dan janji-janji kampanye bertebaran sana sini laksana balon busa yang terbang ke sana ke mari.

Demi meraih tampuk kepemimpinan, orang rela dan tega melakukan hal apapun, dengan cara apapun, bahkan harus mengorbankan seseorang sekalipun.

Namun, sebenarnya siapakah sang pemimpin itu?

Ini pertanyaan yang sangat sederhana, sekaligus juga paling mendasar dalam ilmu manajemen dan kepemimpinan.

Setiap buku tentunya memiliki definisi dan kriteria yang berbeda-beda. Dengan demikian jawaban terhadap pertanyaan tersebut, sangat tergantung kepada buku yang kita baca.

Kajian berikut ini tak bermaksud untuk membedah, apalagi mengonfrontasikan berbagai definisi kepemimpinan yang dirumuskan oleh para pakar.

Namun, sebelum menelaah lebih lanjut praksis-praksis kepemimpinan, kita perlu merenungkan secara mendalam esensi kepemimpinan; perkara yang jauh lebih penting dari urusan motif, praktik dan gaya kepemimpinan.

Sejatinya, sejarah mencatat begitu banyak cerita gelap tentang para pemimpin yang dianggap sukses pada awalnya, namun berujung tragis pada akhir masa kepemimpinannya.


 

Tanpa perlu menoleh ke belahan bumi lain pun, kita tahu ada dua presiden kita yang menutup masa kepemimpinannya dan mengakhiri hari tuanya dengan suasana yang tak nyaman.

Bung Karno harus menyerahkan kekuasaannya pada tahun 1967, setelah MPRS menolak pidato pertanggungjawabannya sebagai presiden, dan mengakhiri hidupnya dengan status sebagai tahanan politik.

Kepemimpinan Ki Hajar

Pak Harto pun akhirnya musti mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pemimpin negara ini pada tahun 1998, setelah menghadapi demonstrasi mahasiswa yang begitu masif dan ditinggalkan oleh sebagian menteri-menteri kabinetnya, dan menjalani masa tuanya dalam keadaan sakit stroke di tengah sorotan publik akan praktik KKN dan pelanggaran HAM di era Orde Baru.

Mereka-mereka adalah pemimpin yang begitu kharismatik dan memanen pujian pada awal masa berkuasa, namun harus mengisi akhir hidupnya secara tragis dan memilukan.

Orang bijak dari timur, Lao Tzu, sejak dahulu kala sudah memberikan petuah kepemimpinan nan arif.

Katanya, “Seorang pemimpin bisa dibilang paling baik, bila pengikutnya hampir tidak menyadari kehadirannya. Pemimpin bisa dianggap cukup baik, kalau para pengikutnya patuh dan memujanya. Adapun pemimpin bisa dianggap jelek, jika para pengikutnya justru membenci dan bahkan mengecamnya”.

“Pemimpin yang hampir tidak disadari kehadirannya” dalam konteks ini sama sekali bukan berarti pemimpin yang tidak mendatangkan kontribusi apa-apa.

Pemimpin seperti ini adalah pemimpin yang membaur dengan kawanannya; yang seolah-olah tidak hadir di mana-mana, namun sesungguhnya ada di mana-mana.

Ini mirip dengan konsepsi kepemimpinan yang digagas oleh pahlawan nasional kita, Ki Hadjar Dewantara, yakni : “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”.

Awalnya, ini adalah konsep pedagogis (keguruan), yang kemudian dipahami secara luas sebagai konsep kepemimpinan.

Tiga kalimat petuah di atas dapat ditafsirkan sebagai tiga peran yang musti dijalankan oleh seorang pemimpin seturut dengan posisinya.

Karena berbaur, posisinya pun bisa berbeda-beda sesuai dengan tuntutan keadaan.

Saat berada di posisi depan kelompoknya, pemimpin haruslah bisa menjadi teladan; waktu berada di tengah-tengah kawanannya, pemimpin harus mampu membangun tekad, dan ketika berada di belakang umatnya, pemimpin harus mendampingi (mengikuti) dan memberikan dorongan semangat.

Bagi Ki Hadjar Dewantara, peran pemimpin sedemikian cair, yang menuntutnya untuk hadir di setiap lini organisasi, entah itu di depan, di tengah-tengah, bahkan di belakang sekalipun.

Dengan “berbaur”, seorang pemimpin merelakan “eksistensi”nya lenyap di tengah-tengah pencapaian dan prestasi dari kawanan yang dipimpinnya.

Baginya, kepentingan dan kemaslahatan orang-orang yang dipimpinnya jauh lebih utama daripada kepentingan dan kehebatan dirinya sendiri.

Seperti kata Maya Angelou - seorang pejuang multi-talenta dan salah satu “guru bangsa” Amerika saat ini -, “A leader sees greatness in other people. You can’t be much of a leader if all you see is yourself”. ?



TERBARU

×